Nama : Fauzta Norma Ayu Anggraini
NIM : 14670011
Kelas : Farmasi A
Tugas Sejarah Peradaban Islam
Ketika demokrasi yang kafir menyerang negeri kita dan
disambut gembira oleh para intelektual yang rusak pemikirannya lagi tak
bermoral, dan ketika demokrasi begitu dipuji oleh orang-orang yang sesat dan
takluk di hadapan peradaban Barat, justru Anda akan melihat bahwa para ahli
politik Eropa telah melancarkan kritik yang tajam terhadap demokrasi, sebagaimana
yang telah dilakukan sebelumnya oleh Plato. Di bawah ini sebagian kritikan dari
mereka. Michael Stewart dalam bukunya Sistem-Sistem Pemerintahan Modern
halaman 459 mengatakan :
”Kaum
komunis bersikeras bahwa hukum demokrasi yang tegak di atas dasar kebebasan
berkreasi, berpendapat, bertingkah laku dan berkepribadian, hanyalah sebuah
prinsip yang kotor dan rusak. Mereka berargumentasi bahwa demokrasi kapitalisme
telah mentolelir pengrusakan masyarakat --khususnya para pemudanya-- melalui
film-film dan bioskop-bioskop serta penyebaran kemungkaran serta kekejian.”
Benjamin
Constan berkata :
”Demokrasi
membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.”
Barchmi
berkata :
“Prinsip
kedaulatan di tangan rakyat sebenarnya tidak pernah ada, yaitu bahwa kedaulatan
rakyat dianggap selalu mewujudkan kebenaran dan keadilan. Paham ini mengklaim
bahwa kekuasaan menjadi legal dengan melihat sumbernya. Atas dasar ini maka
setiap aspirasi yang muncul dari kehendak rakyat, dianggap telah memenuhi parameter
kebenaran dan keadilan. Aspirasi rakyat itu juga dianggap tak perlu diragukan
dan diperdebatkan lagi dari segi ini (memenuhi kebenaran dan keadilan-penerj.),
bukan karena argumentasinya kuat, melainkan karena ia muncul dari kehendak
rakyat. Jadi prinsip kedaulatan rakyat ini memberikan sifat maksum (mustahil
keliru/dosa) kepada rakyat.
Oleh
karena itu, prinsip kedaulatan rakyat akan membawa rakyat (atau para wakilnya)
berpeluang melahirkan kekuasaan absolut, yaitu kesewenang-wenangan
(kediktatoran). Karena apabila kehendak rakyat dianggap kehendak yang legal
hanya karena muncul dari rakyat, maka dengan demikian dari segi legislasi
undang-undang, rakyat akan dapat berbuat apa saja. Jadi rakyat pada dasarnya
tidak perlu lagi mendatangkan justifikasi-justifikasi terhadap apa yang
diinginkannya.”
Dougey
berkata :
”Sesungguhnya
teori kedaulatan rakyat, meskipun ia adalah teori buatan, ia telah menjadi
teori yang layak didukung andaikata ia dapat menafsirkan hakikat-hakikat dan
fakta-fakta politik pada masa modern, dan andaikata hasil-hasilnya praktisnya
cukup baik. Akan tetapi kenyataannya ternyata bertolak belakang dengan apa yang
kita ramalkan.”
Orientalis
Polandia bernama Boogena Giyanah Stchijfska mengatakan :
“Hukum-hukum positif buatan manusia yang lahir dari konsensus-konsensus demokratis tidaklah bersifat tetap. Teks-teksnya tidak membolehkan atau melarang sesuatu secara mutlak, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan tanggung jawab pribadi. Semua itu didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan yang selalu berkembang. Padahal sudah diketahui bahwa kepentingan dan kebutuhan itu selalu berganti dan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Bukan suatu hal yang aneh dalam sejarah hukum-hukum positif buatan manusia, bahwa hukum yang terakhir akan bertentangan dengan hukum yang pertama dalam rincian-rinciannya. Demikian pula yang dibenci dapat berubah menjadi disukai, yang dilarang dapat berubah menjadi boleh, dan yang ganjil dapat berubah menjadi wajar.”
“Hukum-hukum positif buatan manusia yang lahir dari konsensus-konsensus demokratis tidaklah bersifat tetap. Teks-teksnya tidak membolehkan atau melarang sesuatu secara mutlak, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan tanggung jawab pribadi. Semua itu didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan yang selalu berkembang. Padahal sudah diketahui bahwa kepentingan dan kebutuhan itu selalu berganti dan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Bukan suatu hal yang aneh dalam sejarah hukum-hukum positif buatan manusia, bahwa hukum yang terakhir akan bertentangan dengan hukum yang pertama dalam rincian-rinciannya. Demikian pula yang dibenci dapat berubah menjadi disukai, yang dilarang dapat berubah menjadi boleh, dan yang ganjil dapat berubah menjadi wajar.”
Ulama-ulama
Islam yang mengkritik demokrasi yang kafir antara lain adalah Dr. Fathi
Ad Darini, salah seorang ulama besar dalam fiqih siyasah. Dalam kitabnya
Khasha`ish At Tasyri’ Al Islami fi As Siyasah wa Al Hukm halaman 370 Dr. Fathi
Ad Darini berkata :
”Sesungguhnya
sistem-sistem demokrasi Barat, dalam substansinya hanyalah merupakan ungkapan
dari politik tersebut (sekularisme—penerj.) dan sudah diketahui bahwa demokrasi
–pada asalnya— bersifat individualistis dan etnosentris.
Bahwa
demokrasi bersifat individualistis, dikarenakan tujuan tertinggi demokrasi
adalah individu dan pengutamaan kepentingan individu di atas kepentingan
masyarakat. Sudah banyak koreksi-koreksi yang diberikan pada prinsip ini pada
abad XX M.
Bahwa
demokrasi bersifat etnosentris, dikarenakan demokrasi itu sendirilah yang telah
melakukan penjajahan politik dan ekonomi dalam berbagai bentuknya sejak abad XV
M sampai abad XX M. Dahulu Inggris misalnya mempunyai departemen yang bernama
Departemen Wilayah Jajahan dan mempunyai pula menteri yang mengelola
urusan-urusan penjajahan, yaitu Menteri Wilayah Jajahan. Hal ini masih ada
hingga beberapa waktu yang lalu.
Demikianlah.
Politik ini didasarkan pada prinsip-prinsip yang ringkasnya adalah sebagai
berikut :
1.
Memisahkan
politik dari morak dan agama, dan menegakkan politik di atas dasar
prinsip-prinsip khusus.
2.
Etnosentrisme,
yaitu paham bahwa manusia Eropa adalah manusia yang terunggul.
3.
Menjadikan
sistem perwakilan sebagai cara dalam mengatur pemerintahan.
4.
Menerapkan
prinsip “kebebasan umum/masyarakat” dalam pengertiannya yang individualistis,
tradisional, dan absolut.
5.
Kebebasan
ekonomi, sebagai cabang dari kecenderungan prinsip individualisme yang ekstrem.
6.
Sesungguhnya
demokrasi politik adalah sistem yang membiarkan, bukan sistem yang meluruskan.
Artinya demokrasi mendekati mayoritas rakyat dengan membiarkan mereka dalam
keadaan apa adanya dan memperlakukan mereka mengikuti asas ini atas nama
kebebasan.”
Syaikh
Abul A’la Al Maududi dalam kitabnya Al Islam wa Al Madaniyah Al Haditsah halaman
36 mengatakan :
“Telah
saya katakan sebelumnya bahwa pengertian demokrasi dalam peradaban modern
adalah memberikan wewenang membuat hukum kepada mayoritas rakyat (hakimiyah al
jamahir). Artinya, individu-individu suatu negeri dapat secara bebas mewujudkan
kepentingan-kepentingan masyarakat dan bahwa undang-undang negeri ini mengikuti
hawa nafsu mereka. Demikian juga tujuan dari pembentukan pemerintahan –dengan
bantuan struktur organisasinya dan potensi-potensi materilnya— bukanlah untuk
mewujudkan kepentingan-kepentingan masyarakat, berkebalikan dengan apa yang
seharusnya diwujudkan...
Maka
dari itu, kita menentang sistem sekuler yang nasionalistis-demokratis baik yang
ditegakkan oleh orang-orang Barat maupun Timur, muslim ataupun non muslim.
Setiap kali bencana ini turun dan di mana pun dia ada, maka kita akan mencoba
untuk menyadarkan hamba-hamba Allah akan bahayanya yang besar dan akan mengajak
mereka untuk memeranginya.”
Muhammad
Yusuf Musa dalam kitabnya Nizham Al Hukm fi Al Islam halaman 245 berkata :
“Sesungguhnya
sistem pemerintahan Islam bukanlah sistem demokrasi, baik dalam pengertiannya
menurut kaum Yunani kuno maupun dalam pengertiannya yang moderen.”
Muhammad
Asad dalam kitabnya Minhaj Al Islam fi Al Hukm halaman 52 mengatakan :
“Adalah
merupakan penyesatan yang sangat luar biasa, jika ada orang yang mencoba
menerapkan istilah-istilah yang tidak ada hubungannya dengan Islam pada
pemikiran dan peraturan/sistem Islam.”
Utsman
Khalil, meskipun telah menulis kitab yang diberinya judul Ad Dimuqrathiyah Al
Islamiyah (Demokrasi Islami), namun sebenarnya dia sendiri menentang demokrasi.
Utsman Khalil berkata dalam kitab Ad Dimuqrathiyah Al Islamiyah halaman 8 :
“Sesungguhnya
sistem-sistem demokrasi modern yang diimpor dari Barat, di negara-negara Barat
sendiri dianggap sebagai hal baru yang diada-adakan pada abad ke-20 ini.”
Jadi
demokrasi adalah bid’ah dalam hal pemikiran dan politik yang diimpor dari
Barat.
Di
antara sedikit pemikir yang membongkar perbedaan-perbedaan substansial antara demokrasi
dan sistem politik Islam adalah Anwar Al Jundi. Karena pentingnya, kami
kutipkan secara panjang lebar pendapatnya dalam kitabnya Sumum Al Istisyraq wa
Al Mustasyriqun fi Al Ulum Al Islamiyah halaman 96. Anwar Al Jundi mengatakan :
“Pemikiran
politik Islam berbeda dengan pemikiran demokrasi Barat dalam beberapa segi :
1. Pemikiran
politik Islam lebih menekankan kesatuan aqidah daripada kesatuan wilayah.
2. Pemikiran
politik Islam menekankan pandangan yang menghimpun secara sempurna aspek yang material
dan yang spiritual.
3. Pemikiran
politik Islam bersandar pada landasan akhlaq (moral). Jadi terdapat standar
moral bagi setiap aktivitas politik.
4. Jika
kedaulatan dalam sistem demokrasi Barat terletak di tangan rakyat secara total,
maka umat Islam dalam pemikiran politik Islaminya mengaitkan kedaulatannya
dengan hukum-hukum Syariat Islam yang jauh dari hawa nafsu manusia.
5. Pemikiran
politik Islam tidak dapat dinamakan sebagai pemikiran demokratis, atau
pemikiran sosialistis-diktatoris. Sebab ia bertolak belakang dengan semua
pemikiran itu. Jadi pemikiran politik Islam sangat jauh dari sikap ekstrem,
memaksa, atau mendominasi.
6. Kedaulatan
dalam sistem politik Islam bukanlah di tangan umat --seperti sistem demokrasi--
juga bukan di tangan kepala negara --seperti sistem kediktatoran--, melainkan
ada dalam penerapan Syariat Islam. Dengan demikian sistem politik Islam sangat
jauh berbeda dengan sistem apa pun yang telah menyimpang itu.
7. Pemikiran
politik Islam menetapkan bahwa masyarakat itu penting demi untuk kelestarian
kehidupan individu, dan bahwa masyarakat tidak mungkin berjalan dengan lurus
kecuali dengan adanya kekuasaan yang bertanggung untuk mewujudkan kemajuan dan
kestabilan.
8. Negara
dalam pemikiran politik Islam berdiri di atas dasar Undang-Undang Islami
(Syariah) dan bahwa segala perundang-undang yang digunakan untuk mengatur
masyarakat tidak akan dapat berlaku efektif kecuali bila mempunyai sifat
sebagai penerapan dari As Sunnah An Nabawiyah dan ijtihad-ijtihad Ahlul Halli
wal Aqdi. Negara harus mengawasi perilaku individu sebab negara bertanggung
jawab untuk mewujudkan kebahagiaan pihak lain serta kebahagiaan dan kesatuan
umat seluruhnya. Negara juga bertanggung jawab menjaga ajaran-ajaran dan
tujuan-tujuan Islami.
9.
Islam tidak mengakui adanya penguasa yang absolut. Sebaliknya yang diakui
adalah penguasa yang dapat dipercaya (amanah) sesuai pedoman :
“Tidak
ada ketaatan kepada makhluk (manusia) dalam maksiat kepada Al Khalik.”
Penguasa
harus melepaskan diri dari hawa nafsu, berpegang teguh dengan kebenaran dan
keadilan. Umat mempunyai kebebasan untuk memilih penguasa dan mengoreksinya
jika penguasa menyimpang dari kebenaran atau berbuat salah.
10. Pemikiran
politik Islam menetapkan adanya kebebasan berpikir dan kebebasan beragama. Maka
setiap orang --tentu harus tetap sesuai Syariat Islam— berhak untuk
meyakini pemikiran apa saja yang dikehendaki dan tak ada seorang pun yang dapat
memaksanya untuk meninggalkan pemikirannya itu.
11. Sistem
konstitusi Islam diambil dari sumber Al Qur`anul Karim dan As Sunnah An
Nabawiyah dengan tiga asas, yaitu keadilan, musyawarah, dan rahmah (kasih
sayang). Dalam hubungannya dengan undang-undang internasional, Al Qur`an Al
Karim dipandang sebagai hukum pertama yang menyerukan persamaan di antara umat
manusia.
12. Sesungguhnya
keluwesan Syariat Islam dan kemungkiannya untuk berkembang, harus tetap
berpegang pada dasar-dasar syariat (ushul syar’iyah), tujuan-tujuan syariah
(maqashid asy syariah), dan prinsip-prinsip umum syariah (kulliyatu asy
syariah). Jadi jelas ada perbedaan antara yang konstruktif dan yang destruktif,
antara perkembangan dengan penyesuaian (dengan hawa nafsu). Tidak diragukan
lagi bahwa ada bagian dari hukum-hukum Syariat Islam yang tidak menerima
perkembangan dan bahwa hukum yang telah ditetapkan dalam nash tidak boleh
ditinggalkan atau diganti penerapannya sampai kapan pun. Jadi
pemeliharaan terhadap kemaslahatan bukanlah perkara yang tidak mempunyai
batasan, melainkan harus tetap berpatokan dengan dasar-dasar syariat (ushul
syar’iyah).
Secara
umum dapat dikatakan bahwa jika dalam suatu hukum terdapat nash, maka nash itu
wajib diikuti. Jika hukum itu berupa perkara yang diqiyaskan (pada suatu
hukum), maka kita terikat dengan qiyas itu. Tetapi jika tidak terdapat nash,
kita mempertimbangkan kemaslahatan yang ditunjukkan syara’ (mashalih asy
syar’i) dengan tetap berpegang pada prinsip memelihara lima tujuan syariat yang
dharuri (penting, harus) (dharurat al khams), menolak kesulitan (daf’ul haraj),
dan mewujudkan manfaat (tahqiq al manafi’).
13. Sistem
politik Islam berbeda dengan dengan dua sistem politik lainnya, yaitu
kapitalisme dan sosialisme. Sebab sistem kapitalisme membatasi tujuannya pada
pemeliharaan kebebasan individu dan hak-hak pribadi, sedang sistem sosialisme
membatasi tujuannya pada pencegahan perjuangan kelas dan ekspolitasi kelas.
14.
Pemikiran politik Islam tidak memberikan hak/otoritas dalam kekuasaan kepada
penguasa, tetapi sebaliknya kekuasaan dianggap sebagai hak umat semata melalui
syura yang Islami oleh Ahlul Halli wal Aqdi. Islam tidak melarang perempuan
untuk turut berpendapat dalam masalah-masalah umum (publik). Namun Islam
mengharamkan budak untuk berperan serta dalam menyampaikan pendapat dan
bermusyawarah.
15. Pemikiran
politik Islam menolak istilah-istilah demokrasi, sosialisme, nasionalisme, dan
tidak mengkaitkannya dengan Islam. Islam memandang pemikiran-pemikiran itu
sebagai aliran-aliran pemikiran (mazhab) yang asing yang sangat jelas
perbedaannya dengan pemikiran Islam yang komprehensif. Ketika Barat menggunakan
istilah-istilah itu, yang hadir dalam benak mereka adalah peristiwa-peristiwa
sejarah Barat, situasi dan kondisi yang terjadi di Barat, dan
tantangan-tantangan yang dihadapi Barat.
16. Perbedaan
sifat-sifat khas antara negara Islam dan negara moderen akan mengungkapkan
adanya sistem unik yang khas bagi negara Islam, yang tidak terdapat dalam
sistem mana pun dari sistem-sistem pemerintahan moderen. Pilar utama negara
Islam adalah pengkaitan agama dengan Negara
17. Perjanjian
(kontrak) politik Islam adalah kesepakatan politik antara penguasa dengan
rakyat. Perjanjian politik dalam Islam didasarkan pada pemikiran-pemikiran
dasar yang merdeka, yang tidak kalah pentingnya dengan pemikiran-pemikiran politik
moderen, yaitu yang terpenting adalah kemerdekaan untuk memilih (dari
pihak rakyat), dan kesepakatan dari pihak penguasa (atau khalifah) untuk
memegang kekuasaan sebagai wakil dari umat. Dari sini diketahui bahwa teori
perjanjian politik Islam sebenarnya mendahului teori-teori J.J.Rousseau dan
John Locke.
Alasan Kodifikasi Al-Qur’an
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)
Sebagian
besar dari kita mungkin sudah tahu, kapan dan bagaimana Al-Quran diturunkan
kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun tahukah kita
bagaimana Al-Quran itu disusun padahal ia turun secara terpisah, antara satu
ayat dengan ayat lainnya? Lantas, siapakah orang pertama yang menyusun Al-Quran
sehingga ia ada seperti yang kita miliki saat ini?
Proses
pencatatan, pengumpulan dan pembukuan Al-Quran dapat kita ringkas dengan
istilah kodifikasi Al-Quran. Sebagian besar ‘ulama’ berpendapat, sejarah
kodifikasi Al-Quran terjadi dalam tiga marhalah atau masa. Marhalah
yang pertama ialah pada masa hidup Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam, marhalah kedua ialah pada masa khalifah Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu, dan marhalah ketiga pada masa khalifah ‘Utsman radhiyallahu
‘anhu.
Marhalah
Pertama
Pada
marhalah pertama, penjagaan Al-Quran sangat ditekankan pada hafalan
oleh sahabat. Selain itu juga ditulis dengan alat tulis seadanya. Beberapa yang
digunakan saat itu ialah pelepah kurma, batu tipis, tulang-tulang pipih, dan
kulit binatang. Al-Quran ditulis oleh para penulis wahyu yang ditunjuk langsung
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Untuk menjaga keasliannya,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah
kalian menulis dari aku. Barangsiapa yang telah menulis dari aku selain
Al-Quran hendaknya ia menghapusnya.” (HR. Muslim)
Perlu
diketahui bahwa pada masa ini Al-Quran belum dihimpun dan disusun dalam satu
mushaf meskipun pada saat itu sudah banyak sahabat yang menghafalnya. Terkait
hal ini, Prof. Dr. Shalah Shawi menerangkan bahwa pada saat itu Rasulullah
senantiasa menunggu turunnya wahyu dari satu waktu ke waktu yang lain. Beliau
juga menunggu adanya nasikh (penghapusan) sebagian hukum-hukum atau
bacaan Al-Quran. Alasan terakhir adalah agar susunan ayat-ayat Al-Quran masih
dapat diubah apabila turun wahyu yang baru, karena beliau senantiasa
mengisyaratkan tempat masing-masing ayat terhadap ayat-ayat yang lain.
Marhalah
Kedua
Marhalah
kedua ialah pada masa khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Pada masa
ini terjadi perang Yamamah, yaitu suatu perang yang mengakibatkan para
penghafal Al-Quran gugur. Akibat peristiwa tersebut ‘Umar radhiyallahu ‘anhu
merasa khawatir akan kehilangan sebagian besar ayat-ayat Al-Quran akibat
wafatnya para huffazh.
Dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, ketika itu ‘Umar radhiyallahu
‘anhu berkata kepada khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu.
Beliau berkata, “Sesungguhnya peperangan sengit terjadi di hari Yamamah dan
menimpa para qurra’ (para huffazh). Dan aku merasa khawatir dengan sengitnya
peperangan terhadap para qurra (sehingga mereka banyak yang terbunuh) di negeri
itu. Dengan demikian akan hilanglah sebagian besar Al-Quran.”
Khalifah
abu bakar radhiyallahu ‘anhu mulanya ragu dan takut karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan ini sebelumnya. ‘Umar radhiyallahu
‘anhu senantiasa mengulang usulannya tersebut kepada Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu, hingga suatu saat Allah melapangkan dada Abu bakar untuk sependapat
dengannya.
Abu
Bakar radhiyallahu ‘anhu lalu mengutus seorang shahabat untuk
memanggil Zaid bin Tsabit. Beliau mengatakan, “Engkau laki-laki yang
masih muda dan cerdas. Kami sekali-kali tidak pernah memberikan tuduhan atas
dirimu, dan engkau telah menulis wahyu untuk Rasulullah saw sehingga engkau
selalu mengikuti Al-Qur`an, maka kumpulkanlah ia.”
Zaid
radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Demi Allah seandainya kalian
membebaniku untuk memindahkan gunung dari tempatnya, maka sungguh hal itu
tidaklah lebih berat dari apa yang diperintahkan kepadaku mengenai
pengumpulan Al-Quran.”
Zaidpun
berangkat untuk melaksanakan tugas mulia ini. Pengumpulan Al-Qur`an ini, ia
lakukan tidak berdasarkan hafalan para huffazh saja, melainkan dikumpulkan
terlebih dahulu apa yang tertulis di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Lembaran-lembaran Al-Quran tersebut tidak diterima, kecuali
setelah disaksikan dan dipaparkan di depan dua orang saksi yang menyaksikan
bahwa lembaran ini merupakan lembaran yang ditulis di hadapan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ia tidak mengambil selembarpun kecuali jika lembaran
itu diperoleh secara tertulis dari salah seorang sahabat dan ayat di dalamnya
harus dihafal oleh salah seorang dari kalangan sahabat.
Mushaf-mushaf
yang telah terkumpul lalu disimpan di rumah khalifah Abu bakar radhiyallahu
‘anhu hingga beliau wafat. Mushaf-mushaf ini kemudian dipindahkan dan
disimpan di rumah khalifah ‘Umar radhiyallahu ‘anhu hingga beliau
wafat. Terakhir, mushaf-mushaf ini disimpan di rumah ummul-mukminin
Hafshah radhiyallahu ‘anha sesuai wasiat dari khalifah ‘Umar radhiyallahu
‘anhu.
’Ali
radhiyallahu ‘anhu bercerita tentang Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu terkait
pengumpulan Al-Quran ini, ia berkata, “Manusia yang paling besar jasanya
terhadap al-quran ialah Abu bakar. Semoga rahmat Allah untuk Abu bakar, dialah
yang pertama kali mengumpulkan kitab Allah subhanahu wa ta’ala.”
Marhalah
Ketiga
Marhalah
ketiga ialah pada masa khalifah ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu. Pada masa
ini kaum muslimin mulai banyak yang berselisih tentang Al-Quran. Disebutkan
bahwa di wilayah-wilayah yang baru dibebaskan, sahabat nabi yang
bernama Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu terkejut
melihat adanya perbedaan dalam membaca Al-Quran hingga satu kaum mengkafirkan
yang lain. Hudzaifah melihat penduduk Syam membaca Al-Quran dengan
bacaan Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, sebuah bacaan yang
tidak pernah didengar oleh penduduk Irak. Begitu juga ia melihat penduduk Irak
membaca Al-Quran dengan bacaan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
sebuah bacaan yang tidak pernah didengar oleh penduduk Syam. Perbedaan bacaan
tersebut juga terjadi antara penduduk Kufah dan Bashrah.
Dalam
shahih Bukhari disebutkan, Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu segera
mendatangi khalifah ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu dan berkata, “Wahai Amirul
Mukminin, sadarkanlah umat ini sebelum mereka berselisih tentang Al-Quran
sebagaimana perselisihan antara Yahudi dan Nasrani.”
‘Utsman
radhiyallahu ‘anhu menerima usulan tersebut. Ia lalu mengirimkan orang
untuk meminjam mushaf kepada Hafshah radhiyallahu ‘anha untuk disalin.
Ia memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin
al-‘Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalinnya ke dalam
beberapa mushaf.
Setelah
selesai disalin, khalifah ‘Utsman dan para sahabat kemudian berijtihad untuk
menyusun Al-Quran sesuai dengan nash yang ia dapatkan dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan ijma’ para sahabat.
Mushaf
yang telah tersusun kemudian dicopy dan dikirimkan tujuh kota, yaitu Makkah,
Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah dan Madinah. Mushaf inilah yang dikenal
dengan mushaf ‘Utsmani. Khalifah lalu memerintahkan kepada seluruh negeri agar
umat muslim menggunakan mushaf ‘Utsmani. Ia juga memerintahkan semua mushaf
yang bertentangan dengan mushaf ‘Utsmani dibakar.
‘Utsman
radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Manusia diwajibkan untuk memakai
mushaf ini saja, supaya tidak ada perpecahan dan perselisihan.”
Al-Quran
Senantiasa Terjaga
Allah
subhanahu wa ta’ala telah menjamin bahwa siapapun, meski manusia dan jin
berkumpul, mereka tidak akan bisa membuat yang serupa dengan Al-Quran. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman,
“Katakanlah:
‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Quran
ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun
sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.’” (Al-Isra’: 88)
Jangankan
satu Al-Quran, sepuluh surat, satu surat, atau bahkan satu ayat tak seorangpun
yang mampu membuatnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam
surat-surat yang lain,
“Bahkan
mereka mengatakan: ‘Muhammad telah membuat-buat Al-Quran itu’, Katakanlah:
‘(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surah-surah yang dibuat-buat yang
menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain
Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.’” (Hud: 13)
“Dan
jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang Kami wahyukan kepada
hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Quran itu dan
ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (Al-Baqarah:
23)
“Maka
hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Qur’an itu jika mereka
orang-orang yang benar.” (Ath-Thur: 34)
Demikianlah,
tidak perlu diragukan lagi bahwa Al-Quran yang sampai kepada kita sekarang
adalah benar-benar yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala
kepada Rasul-Nya, tidak kurang dan tidak bertambah sedikitpun. Kita harus yakin
bagaimanapun upaya kaum kafir berusaha mengubah isi dan merusak kandungan
Al-Quran, Allah tetap menjamin bahwa Al-Quran akan tetap terjaga hingga hari
kiamat. Semoga pengetahuan yang sedikit ini dapat meningkatkan iman kita kepada
kitab Allah subhanahu wa ta’ala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar