Gemericik air yang turun menghadirkan angan yang melukis senyummu. Kala itu.

Jumat, 06 Maret 2015

Kritik terhadap Sistem Demokrasi yang Tidak Sesuai dengan Nilai-Nilai Islam


Nama   : Fauzta Norma Ayu Anggraini
NIM    : 14670011
Kelas   : Farmasi A


Tugas Sejarah Peradaban Islam

Ketika demokrasi yang kafir menyerang negeri kita dan disambut gembira oleh para intelektual yang rusak pemikirannya lagi tak bermoral, dan ketika demokrasi begitu dipuji oleh orang-orang yang sesat dan takluk di hadapan peradaban Barat, justru Anda akan melihat bahwa para ahli politik Eropa telah melancarkan kritik yang tajam terhadap demokrasi, sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya oleh Plato. Di bawah ini sebagian kritikan dari mereka. Michael Stewart dalam bukunya Sistem-Sistem Pemerintahan Modern halaman 459 mengatakan :

”Kaum komunis bersikeras bahwa hukum demokrasi yang tegak di atas dasar kebebasan berkreasi, berpendapat, bertingkah laku dan berkepribadian, hanyalah sebuah prinsip yang kotor dan rusak. Mereka berargumentasi bahwa demokrasi kapitalisme telah mentolelir pengrusakan masyarakat --khususnya para pemudanya-- melalui film-film dan bioskop-bioskop serta penyebaran kemungkaran serta kekejian.”

Benjamin Constan berkata :

”Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.”

Barchmi berkata :

“Prinsip kedaulatan di tangan rakyat sebenarnya tidak pernah ada, yaitu bahwa kedaulatan rakyat dianggap selalu mewujudkan kebenaran dan keadilan. Paham ini mengklaim bahwa kekuasaan menjadi legal dengan melihat sumbernya. Atas dasar ini maka setiap aspirasi yang muncul dari kehendak rakyat, dianggap telah memenuhi parameter kebenaran dan keadilan. Aspirasi rakyat itu juga dianggap tak perlu diragukan dan diperdebatkan lagi dari segi ini (memenuhi kebenaran dan keadilan-penerj.), bukan karena argumentasinya kuat, melainkan karena ia muncul dari kehendak rakyat. Jadi prinsip kedaulatan rakyat ini memberikan sifat maksum (mustahil keliru/dosa) kepada rakyat.

Oleh karena itu, prinsip kedaulatan rakyat akan membawa rakyat (atau para wakilnya) berpeluang melahirkan kekuasaan absolut, yaitu kesewenang-wenangan (kediktatoran). Karena apabila kehendak rakyat dianggap kehendak yang legal hanya karena muncul dari rakyat, maka dengan demikian dari segi legislasi undang-undang, rakyat akan dapat berbuat apa saja. Jadi rakyat pada dasarnya tidak perlu lagi mendatangkan justifikasi-justifikasi terhadap apa yang diinginkannya.”

Dougey berkata :

”Sesungguhnya teori kedaulatan rakyat, meskipun ia adalah teori buatan, ia telah menjadi teori yang layak didukung andaikata ia dapat menafsirkan hakikat-hakikat dan fakta-fakta politik pada masa modern, dan andaikata hasil-hasilnya praktisnya cukup baik. Akan tetapi kenyataannya ternyata bertolak belakang dengan apa yang kita ramalkan.”

Orientalis Polandia bernama Boogena Giyanah Stchijfska mengatakan :

“Hukum-hukum positif buatan manusia yang lahir dari konsensus-konsensus demokratis tidaklah bersifat tetap. Teks-teksnya tidak membolehkan atau melarang sesuatu secara mutlak, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban  individu dan tanggung jawab pribadi. Semua itu didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan yang selalu berkembang. Padahal sudah diketahui bahwa kepentingan dan kebutuhan itu selalu berganti dan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Bukan suatu hal yang aneh dalam sejarah hukum-hukum positif buatan manusia, bahwa hukum yang terakhir  akan bertentangan dengan hukum yang pertama dalam rincian-rinciannya. Demikian pula yang dibenci dapat berubah menjadi disukai, yang dilarang dapat berubah menjadi boleh, dan yang ganjil dapat berubah menjadi wajar.”

Ulama-ulama Islam yang mengkritik demokrasi yang kafir antara lain adalah  Dr. Fathi Ad Darini, salah seorang ulama besar dalam fiqih siyasah. Dalam kitabnya Khasha`ish At Tasyri’ Al Islami fi As Siyasah wa Al Hukm halaman 370 Dr. Fathi Ad Darini berkata :

”Sesungguhnya sistem-sistem demokrasi Barat, dalam substansinya hanyalah merupakan ungkapan dari politik tersebut (sekularisme—penerj.) dan sudah diketahui bahwa demokrasi –pada asalnya— bersifat individualistis dan etnosentris.

Bahwa demokrasi bersifat individualistis, dikarenakan tujuan tertinggi demokrasi adalah individu dan pengutamaan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Sudah banyak koreksi-koreksi yang diberikan pada prinsip ini pada abad XX M.

Bahwa demokrasi bersifat etnosentris, dikarenakan demokrasi itu sendirilah yang telah melakukan penjajahan politik dan ekonomi dalam berbagai bentuknya sejak abad XV M sampai abad XX M. Dahulu Inggris misalnya mempunyai departemen yang bernama Departemen Wilayah Jajahan dan mempunyai pula menteri yang mengelola urusan-urusan penjajahan, yaitu Menteri Wilayah Jajahan. Hal ini masih ada hingga beberapa waktu yang lalu.

Demikianlah. Politik ini didasarkan pada prinsip-prinsip yang ringkasnya adalah sebagai berikut :

1.      Memisahkan politik dari morak dan agama, dan menegakkan politik di atas dasar prinsip-prinsip khusus.
2.      Etnosentrisme, yaitu paham bahwa manusia Eropa adalah manusia yang terunggul.
3.      Menjadikan sistem perwakilan sebagai cara dalam mengatur pemerintahan.
4.      Menerapkan prinsip “kebebasan umum/masyarakat” dalam pengertiannya yang individualistis, tradisional, dan absolut.
5.      Kebebasan ekonomi, sebagai cabang dari kecenderungan prinsip individualisme yang ekstrem.
6.      Sesungguhnya demokrasi politik adalah sistem yang membiarkan, bukan sistem yang meluruskan. Artinya demokrasi mendekati mayoritas rakyat dengan membiarkan mereka dalam keadaan apa adanya dan memperlakukan mereka mengikuti asas ini atas nama kebebasan.”

Syaikh Abul A’la Al Maududi dalam kitabnya Al Islam wa Al Madaniyah Al Haditsah halaman 36 mengatakan :

“Telah saya katakan sebelumnya bahwa pengertian demokrasi dalam peradaban modern adalah memberikan wewenang membuat hukum kepada mayoritas rakyat (hakimiyah al jamahir). Artinya, individu-individu suatu negeri dapat secara bebas mewujudkan kepentingan-kepentingan masyarakat dan bahwa undang-undang negeri ini mengikuti hawa nafsu mereka. Demikian juga tujuan dari pembentukan pemerintahan –dengan bantuan struktur organisasinya dan potensi-potensi materilnya— bukanlah untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan masyarakat, berkebalikan dengan apa yang seharusnya diwujudkan...

Maka dari itu, kita menentang sistem sekuler yang nasionalistis-demokratis baik yang ditegakkan oleh orang-orang Barat maupun Timur, muslim ataupun non muslim. Setiap kali bencana ini turun dan di mana pun dia ada, maka kita akan mencoba untuk menyadarkan hamba-hamba Allah akan bahayanya yang besar dan akan mengajak mereka untuk memeranginya.”

Muhammad Yusuf Musa dalam kitabnya Nizham Al Hukm fi Al Islam halaman 245 berkata :

“Sesungguhnya sistem pemerintahan Islam bukanlah sistem demokrasi, baik dalam pengertiannya menurut kaum Yunani kuno maupun dalam pengertiannya yang moderen.”

Muhammad Asad dalam kitabnya Minhaj Al Islam fi Al Hukm halaman 52 mengatakan :

“Adalah merupakan penyesatan yang sangat luar biasa, jika ada orang yang mencoba menerapkan istilah-istilah yang tidak ada hubungannya dengan Islam pada pemikiran dan peraturan/sistem Islam.”

Utsman Khalil, meskipun telah menulis kitab yang diberinya judul Ad Dimuqrathiyah Al Islamiyah (Demokrasi Islami), namun sebenarnya dia sendiri menentang demokrasi. Utsman Khalil berkata dalam kitab Ad Dimuqrathiyah Al Islamiyah halaman 8 :

“Sesungguhnya sistem-sistem demokrasi modern yang diimpor dari Barat, di negara-negara Barat sendiri dianggap sebagai hal baru yang diada-adakan pada abad ke-20 ini.”

Jadi demokrasi adalah bid’ah dalam hal pemikiran dan politik yang diimpor dari Barat.

Di antara sedikit pemikir yang membongkar perbedaan-perbedaan substansial antara demokrasi dan sistem politik Islam adalah Anwar Al Jundi. Karena pentingnya, kami kutipkan secara panjang lebar pendapatnya dalam kitabnya Sumum Al Istisyraq wa Al Mustasyriqun fi Al Ulum Al Islamiyah halaman 96. Anwar Al Jundi mengatakan :

“Pemikiran politik Islam berbeda dengan pemikiran demokrasi Barat dalam beberapa segi :

1.  Pemikiran politik Islam lebih menekankan kesatuan aqidah daripada kesatuan wilayah.

2.  Pemikiran politik Islam menekankan pandangan yang menghimpun secara sempurna aspek yang material dan yang spiritual.

3.  Pemikiran politik Islam bersandar pada landasan akhlaq (moral). Jadi terdapat standar moral bagi setiap aktivitas politik.

4.  Jika kedaulatan dalam sistem demokrasi Barat terletak di tangan rakyat secara total, maka umat Islam dalam pemikiran politik Islaminya mengaitkan kedaulatannya dengan hukum-hukum Syariat Islam yang jauh dari hawa nafsu manusia.

5.  Pemikiran politik Islam tidak dapat dinamakan sebagai pemikiran demokratis, atau pemikiran sosialistis-diktatoris. Sebab ia bertolak belakang dengan semua pemikiran itu. Jadi pemikiran politik Islam sangat jauh dari sikap ekstrem, memaksa, atau mendominasi.

6.  Kedaulatan dalam sistem politik Islam bukanlah di tangan umat --seperti sistem demokrasi-- juga bukan di tangan kepala negara --seperti sistem kediktatoran--, melainkan ada dalam penerapan Syariat Islam. Dengan demikian sistem politik Islam sangat jauh berbeda dengan sistem apa pun yang telah menyimpang itu.

7.  Pemikiran politik Islam menetapkan bahwa masyarakat itu penting demi untuk kelestarian kehidupan individu, dan bahwa masyarakat tidak mungkin berjalan dengan lurus kecuali dengan adanya kekuasaan yang bertanggung untuk mewujudkan kemajuan dan kestabilan.

8.  Negara dalam pemikiran politik Islam berdiri di atas dasar Undang-Undang Islami (Syariah) dan bahwa segala perundang-undang yang digunakan untuk mengatur masyarakat tidak akan dapat berlaku efektif kecuali bila mempunyai sifat sebagai penerapan dari As Sunnah An Nabawiyah dan ijtihad-ijtihad Ahlul Halli wal Aqdi. Negara harus mengawasi perilaku individu sebab negara bertanggung jawab untuk mewujudkan kebahagiaan pihak lain serta kebahagiaan dan kesatuan umat seluruhnya. Negara juga bertanggung jawab menjaga ajaran-ajaran dan tujuan-tujuan Islami.

9.  Islam tidak mengakui adanya penguasa yang absolut. Sebaliknya yang diakui adalah penguasa yang dapat dipercaya (amanah) sesuai pedoman :

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk (manusia) dalam maksiat kepada Al Khalik.”

Penguasa harus melepaskan diri dari hawa nafsu, berpegang teguh dengan kebenaran dan keadilan. Umat mempunyai kebebasan untuk memilih penguasa dan mengoreksinya jika penguasa menyimpang dari kebenaran atau berbuat salah.

10.  Pemikiran politik Islam menetapkan adanya kebebasan berpikir dan kebebasan beragama. Maka setiap orang  --tentu harus tetap sesuai Syariat Islam— berhak untuk meyakini pemikiran apa saja yang dikehendaki dan tak ada seorang pun yang dapat memaksanya untuk meninggalkan pemikirannya itu.

11.  Sistem konstitusi Islam diambil dari sumber Al Qur`anul Karim dan As Sunnah An Nabawiyah dengan tiga asas, yaitu keadilan, musyawarah, dan rahmah (kasih sayang). Dalam hubungannya dengan undang-undang internasional, Al Qur`an Al Karim dipandang sebagai hukum pertama yang menyerukan persamaan di antara umat manusia.

12.  Sesungguhnya keluwesan Syariat Islam dan kemungkiannya untuk berkembang, harus tetap berpegang pada dasar-dasar syariat (ushul syar’iyah), tujuan-tujuan syariah (maqashid asy syariah), dan prinsip-prinsip umum syariah (kulliyatu asy syariah). Jadi jelas ada perbedaan antara yang konstruktif dan yang destruktif, antara perkembangan dengan penyesuaian (dengan hawa nafsu). Tidak diragukan lagi bahwa ada bagian dari hukum-hukum Syariat Islam yang tidak menerima perkembangan dan bahwa hukum yang telah ditetapkan dalam nash tidak boleh ditinggalkan atau diganti penerapannya sampai kapan pun.  Jadi pemeliharaan terhadap kemaslahatan bukanlah perkara yang tidak mempunyai batasan, melainkan harus tetap berpatokan dengan dasar-dasar syariat (ushul syar’iyah).

Secara umum dapat dikatakan bahwa jika dalam suatu hukum terdapat nash, maka nash itu wajib diikuti. Jika hukum itu berupa perkara yang diqiyaskan (pada suatu hukum), maka kita terikat dengan qiyas itu. Tetapi jika tidak terdapat nash, kita mempertimbangkan kemaslahatan yang ditunjukkan syara’ (mashalih asy syar’i) dengan tetap berpegang pada prinsip memelihara lima tujuan syariat yang dharuri (penting, harus) (dharurat al khams), menolak kesulitan (daf’ul haraj), dan mewujudkan manfaat (tahqiq al manafi’).

13.  Sistem politik Islam berbeda dengan dengan dua sistem politik lainnya, yaitu kapitalisme dan sosialisme. Sebab sistem kapitalisme membatasi tujuannya pada pemeliharaan kebebasan individu dan hak-hak pribadi, sedang sistem sosialisme membatasi tujuannya pada pencegahan perjuangan kelas dan ekspolitasi kelas.

14.  Pemikiran politik Islam tidak memberikan hak/otoritas dalam kekuasaan kepada penguasa, tetapi sebaliknya kekuasaan dianggap sebagai hak umat semata melalui syura yang Islami oleh Ahlul Halli wal Aqdi. Islam tidak melarang perempuan untuk turut berpendapat dalam masalah-masalah umum (publik). Namun Islam mengharamkan budak untuk berperan serta dalam menyampaikan pendapat dan bermusyawarah.

15.  Pemikiran politik Islam menolak istilah-istilah demokrasi, sosialisme, nasionalisme, dan tidak mengkaitkannya dengan Islam. Islam memandang pemikiran-pemikiran itu sebagai aliran-aliran pemikiran (mazhab) yang asing yang sangat jelas perbedaannya dengan pemikiran Islam yang komprehensif. Ketika Barat menggunakan istilah-istilah itu, yang hadir dalam benak mereka adalah peristiwa-peristiwa sejarah Barat, situasi dan kondisi yang terjadi di Barat, dan tantangan-tantangan yang dihadapi Barat.

16.  Perbedaan sifat-sifat khas antara negara Islam dan negara moderen akan mengungkapkan adanya sistem unik yang khas bagi negara Islam, yang tidak terdapat  dalam sistem mana pun dari sistem-sistem pemerintahan moderen. Pilar utama negara Islam adalah pengkaitan agama dengan Negara

17.  Perjanjian (kontrak) politik Islam adalah kesepakatan politik antara penguasa dengan rakyat. Perjanjian politik dalam Islam didasarkan pada pemikiran-pemikiran dasar yang merdeka, yang tidak kalah pentingnya dengan pemikiran-pemikiran politik moderen, yaitu yang terpenting adalah  kemerdekaan untuk memilih (dari pihak rakyat), dan kesepakatan dari pihak penguasa (atau khalifah) untuk memegang kekuasaan sebagai wakil dari umat. Dari sini diketahui bahwa teori perjanjian politik Islam sebenarnya mendahului teori-teori J.J.Rousseau dan John Locke.

Alasan Kodifikasi Al-Qur’an

            “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)
Sebagian besar dari kita mungkin sudah tahu, kapan dan bagaimana Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun tahukah kita bagaimana Al-Quran itu disusun padahal ia turun secara terpisah, antara satu ayat dengan ayat lainnya? Lantas, siapakah orang pertama yang menyusun Al-Quran sehingga ia ada seperti yang kita miliki saat ini?
Proses pencatatan, pengumpulan dan pembukuan Al-Quran dapat kita ringkas dengan istilah kodifikasi Al-Quran. Sebagian besar ‘ulama’ berpendapat, sejarah kodifikasi Al-Quran terjadi dalam tiga marhalah atau masa. Marhalah yang pertama ialah pada masa hidup Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, marhalah kedua ialah pada masa khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, dan marhalah ketiga pada masa khalifah ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu.
Marhalah Pertama
Pada marhalah pertama, penjagaan Al-Quran sangat ditekankan pada hafalan oleh sahabat. Selain itu juga ditulis dengan alat tulis seadanya. Beberapa yang digunakan saat itu ialah pelepah kurma, batu tipis, tulang-tulang pipih, dan kulit binatang. Al-Quran ditulis oleh para penulis wahyu yang ditunjuk langsung oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Untuk menjaga keasliannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah kalian menulis dari aku. Barangsiapa yang telah menulis dari aku selain Al-Quran hendaknya ia menghapusnya.” (HR. Muslim)
Perlu diketahui bahwa pada masa ini Al-Quran belum dihimpun dan disusun dalam satu mushaf meskipun pada saat itu sudah banyak sahabat yang menghafalnya. Terkait hal ini, Prof. Dr. Shalah Shawi menerangkan bahwa pada saat itu Rasulullah senantiasa menunggu turunnya wahyu dari satu waktu ke waktu yang lain. Beliau juga menunggu adanya nasikh (penghapusan) sebagian hukum-hukum atau bacaan Al-Quran. Alasan terakhir adalah agar susunan ayat-ayat Al-Quran masih dapat diubah apabila turun wahyu yang baru, karena beliau senantiasa mengisyaratkan tempat masing-masing ayat terhadap ayat-ayat yang lain.
Marhalah Kedua
Marhalah kedua ialah pada masa khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Pada masa ini terjadi perang Yamamah, yaitu suatu perang yang mengakibatkan para penghafal Al-Quran gugur. Akibat peristiwa tersebut ‘Umar radhiyallahu ‘anhu merasa khawatir akan kehilangan sebagian besar ayat-ayat Al-Quran akibat wafatnya para huffazh.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, ketika itu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, “Sesungguhnya peperangan sengit terjadi di hari Yamamah dan menimpa para qurra’ (para huffazh). Dan aku merasa khawatir dengan sengitnya peperangan terhadap para qurra (sehingga mereka banyak yang terbunuh) di negeri itu. Dengan demikian akan hilanglah sebagian besar Al-Quran.”
Khalifah abu bakar radhiyallahu ‘anhu mulanya ragu dan takut karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan ini sebelumnya. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu senantiasa mengulang usulannya tersebut kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, hingga suatu saat Allah melapangkan dada Abu bakar untuk sependapat dengannya.
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu lalu mengutus seorang shahabat untuk memanggil Zaid bin Tsabit. Beliau mengatakan,  “Engkau laki-laki yang masih muda dan cerdas. Kami sekali-kali tidak pernah memberikan tuduhan atas dirimu, dan engkau telah menulis wahyu untuk Rasulullah saw sehingga engkau selalu mengikuti Al-Qur`an, maka kumpulkanlah ia.”
Zaid radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Demi Allah seandainya kalian membebaniku untuk memindahkan gunung dari tempatnya, maka sungguh hal itu tidaklah lebih berat dari apa yang diperintahkan kepadaku  mengenai pengumpulan Al-Quran.”
Zaidpun berangkat untuk melaksanakan tugas mulia ini. Pengumpulan Al-Qur`an ini, ia lakukan tidak berdasarkan hafalan para huffazh saja, melainkan dikumpulkan terlebih dahulu apa yang tertulis di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lembaran-lembaran Al-Quran tersebut tidak diterima, kecuali setelah disaksikan dan dipaparkan di depan dua orang saksi yang menyaksikan bahwa lembaran ini merupakan lembaran yang ditulis di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia tidak mengambil selembarpun kecuali jika lembaran itu diperoleh secara tertulis dari salah seorang sahabat dan ayat di dalamnya harus dihafal oleh salah seorang dari kalangan sahabat.
Mushaf-mushaf yang telah terkumpul lalu disimpan di rumah khalifah Abu bakar radhiyallahu ‘anhu hingga beliau wafat. Mushaf-mushaf ini kemudian dipindahkan dan disimpan di rumah khalifah ‘Umar radhiyallahu ‘anhu hingga beliau wafat. Terakhir, mushaf-mushaf ini disimpan di rumah ummul-mukminin Hafshah radhiyallahu ‘anha sesuai wasiat dari khalifah ‘Umar radhiyallahu ‘anhu.
’Ali radhiyallahu ‘anhu bercerita tentang Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu terkait pengumpulan Al-Quran ini, ia berkata, “Manusia yang paling besar jasanya terhadap al-quran ialah Abu bakar. Semoga rahmat Allah untuk Abu bakar, dialah yang pertama kali mengumpulkan kitab Allah subhanahu wa ta’ala.”
Marhalah Ketiga
Marhalah ketiga ialah pada masa khalifah ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu. Pada masa ini kaum muslimin mulai banyak yang berselisih tentang Al-Quran. Disebutkan bahwa di wilayah-wilayah yang baru dibebaskan, sahabat nabi yang bernama Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu terkejut melihat adanya perbedaan dalam membaca Al-Quran hingga satu kaum mengkafirkan yang lain. Hudzaifah melihat penduduk Syam membaca Al-Quran dengan bacaan Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, sebuah bacaan yang tidak pernah didengar oleh penduduk Irak. Begitu juga ia melihat penduduk Irak membaca Al-Quran dengan bacaan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, sebuah bacaan yang tidak pernah didengar oleh penduduk Syam. Perbedaan bacaan tersebut juga terjadi antara penduduk Kufah dan Bashrah.
Dalam shahih Bukhari disebutkan, Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu segera mendatangi khalifah ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sadarkanlah umat ini sebelum mereka berselisih tentang Al-Quran sebagaimana perselisihan antara Yahudi dan Nasrani.”
‘Utsman radhiyallahu ‘anhu menerima usulan tersebut. Ia lalu mengirimkan orang untuk meminjam mushaf kepada Hafshah radhiyallahu ‘anha untuk disalin.  Ia memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin al-‘Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalinnya ke dalam beberapa mushaf.
Setelah selesai disalin, khalifah ‘Utsman dan para sahabat kemudian berijtihad untuk menyusun Al-Quran sesuai dengan nash yang ia dapatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ijma’ para sahabat.
Mushaf yang telah tersusun kemudian dicopy dan dikirimkan tujuh kota, yaitu Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah dan Madinah. Mushaf inilah yang dikenal dengan mushaf ‘Utsmani. Khalifah lalu memerintahkan kepada seluruh negeri agar umat muslim menggunakan mushaf ‘Utsmani. Ia juga memerintahkan semua mushaf yang bertentangan dengan mushaf  ‘Utsmani dibakar.
‘Utsman radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Manusia diwajibkan untuk memakai mushaf ini saja, supaya tidak ada perpecahan dan perselisihan.”
Al-Quran Senantiasa Terjaga
Allah subhanahu wa ta’ala telah menjamin bahwa siapapun, meski manusia dan jin berkumpul, mereka tidak akan bisa membuat yang serupa dengan Al-Quran. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.’” (Al-Isra’: 88)
Jangankan satu Al-Quran, sepuluh surat, satu surat, atau bahkan satu ayat tak seorangpun yang mampu membuatnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat-surat yang lain,
“Bahkan mereka mengatakan: ‘Muhammad telah membuat-buat Al-Quran itu’, Katakanlah: ‘(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surah-surah yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.’” (Hud: 13)
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (Al-Baqarah: 23)
“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Qur’an itu jika mereka orang-orang yang benar.” (Ath-Thur: 34)
Demikianlah, tidak perlu diragukan lagi bahwa Al-Quran yang sampai kepada kita sekarang adalah benar-benar yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada Rasul-Nya, tidak kurang dan tidak bertambah sedikitpun. Kita harus yakin bagaimanapun upaya kaum kafir berusaha mengubah isi dan merusak kandungan Al-Quran, Allah tetap menjamin bahwa Al-Quran akan tetap terjaga hingga hari kiamat. Semoga pengetahuan yang sedikit ini dapat meningkatkan iman kita kepada kitab Allah subhanahu wa ta’ala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar