A. SEJARAH PERHIMPUNAN
AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH
Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah (Jam’iyat
al-Islah wal Irsyad al-Islamiyyah) berdiri pada 6 September 1914 (15 Syawwal
1332 H). Tanggal itu mengacu pada pendirian Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah
yang pertama, di Jakarta. Pengakuan hukumnya sendiri baru dikeluarkan
pemerintah Kolonial Belanda pada 11 Agustus 1915. Tokoh sentral pendirian
Al-Irsyad adalah Al-‘Alamah Syeikh Ahmad Surkati Al-Anshori, seorang ulama
besar Mekkah yang berasal dari Sudan. Pada mulanya Syekh Surkati datang ke
Indonesia atas permintaan perkumpulan Jami’at Khair yang mayoritas anggota
pengurusnya terdiri dari orang-orang Indonesia keturunan Arab golongan sayyid,
dan berdiri pada 1905. Nama lengkapnya adalah Syeikh Ahmad Bin Muhammad Assoorkaty Al-Anshary.
Al-Irsyad adalah organisasi Islam nasional.
Syarat keanggotaannya, seperti tercantum dalam Anggaran Dasar Al-Irsyad adalah:
“Warga negara Republik Indonesia yang beragama Islam yang sudah dewasa.” Jadi
tidak benar anggapan bahwa Al-Irsyad merupakan organisasi warga keturunan Arab.
Perhimpunan Al-Irsyad mempunyai sifat khusus, yaitu Perhimpunan yang berakidah
Islamiyyah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, di bidang pendidikan,
pengajaran, serta sosial dan dakwah
bertingkat nasional. Perhimpunan ini adalah perhimpunan mandiri yang sama
sekali tidak mempunyai kaitan dengan organisasi politik apapun juga, serta
tidak mengurusi masalah-masalah politik praktis.
Syekh Ahmad Surkati tiba di Indonesia bersama
dua kawannya yaitu Syeikh Muhammad Tayyib al-Maghribi dan Syeikh
Muhammad bin Abdulhamid al-Sudani. Di negeri barunya ini, Syeikh Ahmad
menyebarkan ide-ide baru dalam lingkungan masyarakat Islam Indonesia. Syeikh
Ahmad Surkati diangkat sebagai Penilik sekolah-sekolah yang dibuka Jami’at
Khair di Jakarta dan Bogor.
Berkat kepemimpinan dan bimbingan Syekh Ahmad
Surkati, dalam waktu satu tahun, sekolah-sekolah itu maju pesat. Namun Syekh
Ahmad Surkati hanya bertahan tiga tahun di Jami’at Khair karena perbedaan paham
yang cukup prinsipil dengan para penguasa Jami’at Khair, yang umumnya keturunan
Arab sayyid (alawiyin). Sekalipun Jami’at Khair tergolong organisasi yang memiliki
cara dan fasilitas modern, namun pandangan keagamaannya, khususnya yang
menyangkut persamaan derajat, belum terserap baik. Ini nampak setelah para
pemuka Jami’at Khair dengan kerasnya menentang fatwa Syekh Ahmad tentang kafaah
(persamaan derajat).
Karena tak disukai lagi, Syekh Ahmad memutuskan
mundur dari Jami’at Khair, pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Dan di
hari itu juga Syekh Ahmad bersama beberapa sahabatnya mendirikan Madrasah
Al-Irsyad Al-Islamiyyah, serta organisasi untuk menaunginya, yaitu Jam’iyat al-Islah wal-Irsyad al-Arabiyah
(kemudian berganti nama menjadi Jam’iyat al-Islah wal-Irsyad al-Islamiyyah).
Setelah tiga tahun berdiri, Perhimpunan
Al-Irsyad mulai membuka sekolah dan cabang-cabang organisasi di banyak kota di
Pulau Jawa. Setiap cabang ditandai dengan berdirinya sekolah (madrasah). Cabang
pertama di Tegal (Jawa Tengah) pada 1917, dimana madrasahnya dipimpin oleh
murid Syekh Ahmad Surkati angkatan pertama, yaitu Abdullah bin Salim al-Attas.
Kemudian diikuti dengan cabang-cabang Pekalongan, Cirebon, Bumiayu, Surabaya,
dan kota-kota lainnya.
Al-Irsyad di masa-masa awal kelahirannya
dikenal sebagai kelompok pembaharu Islam di Nusantara, bersama Muhammadiyah dan
Persatuan Islam (Persis). Tiga tokoh utama organisasi ini adalah Ahmad Surkati, Ahmad Dahlan, dan Ahmad Hassan
(A. Hassan), sering disebut sebagai “Trio Pembaharu Islam Indonesia.” Mereka
bertiga juga berkawan akrab. Malah menurut A. Hassan, sebetulnya dirinya dan
Ahmad Dahlan adalah murid Syekh Ahmad Surkati, meski tak terikat jadwal
pelajaran resmi. Namun demikian, menurut sejarawan Belanda G.F. Pijper, yang
benar-benar merupakan gerakan pembaharuan dalam pemikiran dan ada persamaannya
dengan gerakan reformisme di Mesir adalah Gerakan Pembaharuan Al-Irsyad. Sedang
Muhammadiyah, kata Pijper, sebetulnya timbul sebagai reaksi terhadap politik
pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu yang berusaha untuk menasranikan orang
Indonesia.
Al-Irsyad juga berperan penting sebagai prakarsa
Muktamar Islam I di Cirebon pada 1922, bersama Syarekat Islam dan Muhammadiyah.
Sejak itu pula, Syekh Ahmad Surkati bersahabat dekat dengan H. Agus Salim dan
H.O.S. Tjokroaminoto. Al-Irsyad juga aktif dalam pembentuan MIAI (Majlis Islam
‘A’laa Indonesia) di zaman pendudukan Jepang, Badan Kongres Muslimin Indonesia
(BKMI) dan lain-lain, sampai juga pada Masyumi, Badan Kontak Organisasi Islam
(BKOI) dan Amal Muslimin.
Selaku penganut paham Pan Islam, tentu Syekh
Ahmad Surkati bertahan dengan Islamisme. Semaun berpendirian, hanya dengan
komunisme lah Indonesia bisa merdeka. Dua jam perdebatan berlangsung, tidak
ditemukan titik temu. Namun Syekh Ahmad Surkati ternyata menghargai positif
pendirian Semaun. “Saya suka sekali orang ini, karena keyakinannya yang kokoh
dan jujur bahwa hanya dengan komunisme lah tanah airnya dapat dimerdekakan!”
Peristiwa ini sekaligus membuktikan bahwa para
pemimpin Al-Irsyad pada tahun 1922 sudah berbicara masalah kemerdekaan
Indonesia!
B. TOKOH-TOKOH
DALAM AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH
Harun Ar-Rasyid lahir
di Rayy pada tahun 763 (150 H) dan wafat pada tanggal 24 Maret 809, di Thus,
Khurasan. Ar-Rasyid bernama Harun bin Muhammad Al-Mahdi bin Abdillah Al-Mansur. Ia
adalah cucu pendiri kota Baghdad, Al-Mansur.
Harun Ar-Rasyid adalah
kalifah kelima dari kekalifahan Abbasiyah dan memerintah antara 14 September
786 – 24 Maret 809 (15 Rabi’ul Awwal 170AH – 3 Jumada Ats-Tsani 193AH). Ayahnya
bernama Muhammad Al-Mahdi, khalifah yang ketiga dan kakaknya, Musa Al-Hadi
adalah kalifah yang keempat. Ibunya Jurasyiyah dijuluki Khayzuran berasal dari
Yaman.
Meski berasal dari
dinasti Abbasiyah, Harun Ar-Rasyid dikenal dekat dengan keluarga Barmaki dari
Persia (Iran). Di masa mudanya, Harun banyak belajar dari Yahya ibn Khalid
Al-Barmak.
Kuniyah Harun Ar-Rasyid
adalah Abu Ja’far. Kuniyah adalah nama yang berawalan abu atau ummu. Adapun “Ar-Rasyid”,
nama ini adalah julukan yang dikenakannya. Menjadi kelaziman di kalangan
khalifah Bani Abbasiyah, seorang khalifah atau calon khalifah memiliki julukan
masing-masing.
Harun Ar-Rasyid banyak
memiliki kesamaan dengan kakeknya, Al-Mansur. Masing-masing mereka memiliki
kesenangan mendengarkan riwayat-riwayat hadis. Baik Al-Mansur ataupun
Ar-Rasyid, memiliki teman dari kalangan ahli hadits. Yang dimaksud ahli hadits
adalah orang-orang yang mencari riwayat-riwayat hadis untuk diseleksi dan
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya, para pencari hadis itu
menyampaikan hadis-hadis yang mereka peroleh dalam majelis-majelis tahdits.
Buku-buku sejarah
mencatat bahwa pemerintahan Harun Ar-Rasyid adalah puncak keemasan kekhalifahan
Bani Abbasiyah. Waktu itu, filsafat-filsafat Yunani belum mendominasi pemikiran
para cendekiawan. Metode rasional seperti yang diajarkan Abu Hanifah sedikit
banyak mendapat perhatian. Sementara itu, ilmu ushul fiqh mulai dikembangkan
Imam Asy-Syafii.
Tetapi Harun Ar-Rasyid
mati muda. Dalam suatu peperangan di Thus, Khurasan, pada 193 H, ajal
menjemputnya. Waktu itu, usianya belum lagi 45 tahun. Dan betul,
sepeninggalnya, pemerintahan Bani Abbasiyah mulai memasuki gerbang
kemundurannya sampai akhirnya diserbu oleh orang-orang Mongol pada 1258 M.
Harun Ar-Rasyid sendiri
banyak dihormati raja-raja Eropa. Mereka saling berkirim surat. Di antara
mereka adalah Raja Charle Magne dan Ratu Irene. Bagi orang-orang Eropa, nama
Harun Ar-Rasyid beserta Shalahuddin Al-Ayyubi dijajarkan dalam daftar raja-raja
terkenal yang pernah ada di dunia ini.
Di masa pemerintahannya, beliau :
·
Mewujudkan keamanan, kedamaian serta kesejahteraan rakyat.
·
Membangun kota Baghdad dengan bangunan-bangunan megah.
·
Membangun tempat-tempat peribadatan.
·
Membangun sarana pendidikan, kesehatan, dan perdagangan.
·
Mendirikan Baitul Hikmah, sebagai lembaga penerjemah yang berfungsi sebagai
perguruan tinggi, perpustakaan, dan penelitian.
·
Membangun majelis Al-Muzakarah, yakni lembaga pengkajian masalah-masalah
keagamaan yang diselenggarakan di rumah-rumah, mesjid-mesjid, dan istana.
Era keemasan Islam (The
Golden Ages of Islam) tertoreh pada masa ke pemimpinannya. Perhatiannya yang
begitu besar terhadap kesejahteraan rakyat serta kesuksesannya mendorong
perkembangan ilmu pengetahuan, tekonologi, ekonomi, perdagangan, politik,
wilayah kekuasaan, serta peradaban Islam telah membuat Dinasti Abbasiyah menjadi
salah satu negara adikuasa dunia di abad ke-8 M.
Harun Ar-Rasyid adalah
Amir para Khalifah Abbasiyah. Dia adalah raja agung pada zamannya. Konon,
kehebatannya hanya dapat dibandingkan dengan Karel Agung (742 M – 814 M) di
Eropa. Pada masa kekuasaannya, Baghdad ibu kota Abbasiyah – menjelma menjadi
metropolitan dunia. Jasanya dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban hingga
abad ke-21 masih dirasakan dan dinikmati masyarakat dunia.
Sejak belia, Harun
Ar-Rasyid ditempa dengan pendidikan agama Islam dan pemerintahan di lingkungan
istana. Salah satu gurunya yang paling populer adalah Yahya bin Khalid.
Berbekal pendidikan yang memadai, Harun pun tumbuh menjadi seorang terpelajar.
Harun Ar-Rasyid memang dikenal sebagai pria yang berotak encer, berkepribadian kuat,
dan fasih dalam berbicara.
Ketika tumbuh menjadi
seorang remaja, Harun Ar-Rasyid sudah mulai diterjunkan ayahnya dalam urusan
pemerintahan. Kepemimpinan Harun ditempa sang ayah ketika dipercaya memimpin
ekspedisi militer untuk menaklukkan Bizantium sebanyak dua kali. Ekspedisi
militer pertama dipimpinnya pada 779 M – 780 M. Dalam ekspedisi kedua yang
dilakukan pada 781-782 M, Harun memimpin pasukannya hingga ke pantai Bosporus.
Dalam usia yang relatif muda, Harun Ar-Rasyid yang dikenal berwibawa sudah
mampu menggerakkan 95 ribu pasukan beserta para pejabat tinggi dan jenderal
veteran. Dari mereka pula, Harun banyak belajar tentang strategi pertempuran.
Sebelum dinobatkan
sebagai khalifah, Harun didaulat ayahnya menjadi gubernur di As-Siafah tahun
779 M dan di Maghrib pada 780 M. Dua tahun setelah menjadi gubernur, sang ayah
mengukuhkannya sebagai putera mahkota untuk menjadi khalifah setelah
saudaranya, Al-Hadi. Pada 14 Septempber 786 M, Harun Ar-Rasyid akhirnya
menduduki tahta tertinggi di Dinasti Abbasiyah sebagai khalifah kelima.
Harun Ar-Rasyid
berkuasa selama 23 tahun (786 M – 809 M). Selama dua dasawarsa itu, Harun
Ar-Rasyid mampu membawa dinasti yang dipimpinnya ke puncak kejayaan. Ada banyak
hal yang patut ditiru para pemimpin Islam di abad ke-21 ini dari sosok raja
besar Muslim ini. Sebagai pemimpin, dia menjalin hubungan yang harmonis dengan
para ulama, ahli hukum, penulis, qari, dan seniman.
Ia kerap mengundang
para tokoh informal dan profesional itu ke istana untuk mendiskusikan berbagai masalah.
Harun Ar-Rasyid begitu menghargai setiap orang. Itulah salah satu yang membuat masyarakat dari berbagai
golongan dan status amat menghormati, mengagumi, dan mencintainya. Harun
Ar-Rasyid adalah pemimpin yang mengakar dan dekat dengan rakyatnya. Sebagai
seorang pemimpin dan Muslim yang taat, Harun Ar-Rasyid sangat rajin beribadah.
Konon, dia terbiasa menjalankan shalat sunat hingga seratus rakaat setiap
harinya. Dua kali dalam setahun, khalifah kerap menunaikan ibadah haji dan
umrah dengan berjalan kaki dari Baghdad ke Mekkah. Ia tak pernah lupa mengajak
para ulama ketika menunaikan rukun Islam kelima. Jika sang khalifah tak
berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji, maka dihajikannya sebanyak tiga
ratus orang di Baghdad dengan biaya penuh dari istana.
Masyarakat Baghdad
merasakan dan menikmati suasana aman dan damai di masa pemerintahannya. Dalam
menjalankan roda pemerintahan, Harun Ar-Rasyid tak mengenal kompromi dengan
korupsi yang merugikan rakyat. Sekalipun yang berlaku korup itu adalah orang yang
dekat dan banyak berpengaruh dalam hidupnya. Tanpa ragu-ragu Harun Ar-Rasyid
memecat dan memenjarakan Yahya bin Khalid yang diangkatnya sebagai perdana
menteri (wazir).
Harun pun menyita dan
mengembalikan harta Yahya senilai 30,87 juta dinar hasil korupsi ke kas negara.
Dengan begitu, pemerintahan yang dipimpinnya bisa terbebas dari korupsi yang
bisa menyengsarakan rakyatnya. Pemerintahan yang bersih dari korupsi menjadi
komitmennya. Konon, Harun Ar-Rasyid adalah khalifah yang berperawakan tinggi,
bekulit putih, dan tampan. Di masa kepemimpinannya, Abbasiyah menguasai wilayah
kekuasaan yang terbentang luas dari daerah-daerah di Laut Tengah di sebelah
Barat hingga ke India di sebelah Timur. Meski begitu, tak mudah bagi Harun
Ar-Rasyid untuk menjaga keutuhan wilayah yang dikuasainya.
Berbagai pemberontakan
pun tercatat sempat terjadi di era kepemimpinannya. Pemberontakan yang sempat
terjadi di masa kekuasaannya antara lain pemberontakan Khawarij yang dipimpin
Walid bin Tahrif (794 M), pemberontakan Musa Al-Kazim (799 M), serta pemberontakan Yahya bin Abdullah bin Abi Taglib (792 M). Salah satu
puncak pencapaian yang membuat namanya melegenda adalah perhatiannya dalam
bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Di masa kepemimpinannya terjadi
penerjemahan karya-karya dari berbagai bahasa.
Inilah yang menjadi awal kemajuan yang dicapai Islam. Menggenggam dunia
dengan ilmu pengetahuan dan perabadan. Pada era itu pula berkembang beragam
disiplin ilmu pengetahuan dan peradaban yang ditandai dengan berdirinya Baitul
Hikmah – perpustakaan raksasa sekaligus pusat kajian ilmu pengetahuan dan
peradaban terbesar pada masanya. Harun pun menaruh perhatian yang besar
terhadap pengembangan ilmu keagamaan. Sang khalifah tutup usia pada 24 Maret
809 M pada usia yang terbilang muda 46 tahun. Meski begitu pamor dan
popularitasnya masih tetap melegenda hingga kini. Namanya juga diabadikan
sebagai salah satu tokoh dalam kitab 1001 malam yang amat populer. Pemimpin
yang baik akan tetap dikenang sepanjang masa.
(2)
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, Cet Vii. Jakarta: Raja Grapindo
Persada. 2000.
C. ARAH PERJUANGAN
DAN SIFAT IDEOLOGI AL-IRSYAD
Al-Irsyad,
begitu lahir seketika terlibat dengan berbagai masalah diniyah. Ofensif
Al-Irsyad kemudian telah menempatkannya sebagai pendobrak, hingga pembinaan
organisasi agak tersendat. Al-Irsyad juga terlibat dalam permasalahan di
kalangan keturunan Arab, hingga sampai dewasa ini ada salah paham bahwa
Al-Irsyad merupakan organisasi para keturunan Arab.
Al-Irsyad
juga berperan penting sebagai pemrakarsa Muktamar Islam I di Cirebon pada 1922,
bersama Syarekat Islam dan Muhammadiyah. Sejak itu pula, Syekh Ahmad Surkati
bersahabat dekat dengan H. Agus Salim dan H.O.S. Tjokroaminoto. Al-Irsyad juga
aktif dalam pembentuan MIAI (Majlis Islam ‘A’laa Indonesia) di zaman pendudukan
Jepang, Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI) dan lain-lain, sampai juga pada
Masyumi, Badan Kontak Organisasi Islam (BKOI) dan Amal Muslimin.
Di
tengah-tengah suasana Muktamar Islam di Cirebon, diadakan perdebatan antara Al-Irsyad
dan Syarekat Islam Merah, dengan tema: “Dengan apa Indonesia ini bisa merdeka. Dengan
Islamisme kah atau Komunisme?” Al-Irsyad diwakili oleh
Syekh Ahmad Surkati, Umar Sulaiman Naji dan Abdullah Badjerei, sedang SI Merah
diwakili Semaun, Hasan, dan Sanusi.
Selaku
penganut paham Pan Islam, tentu Syekh Ahmad Surkati bertahan dengan Islamisme.
Semaun berpendirian, hanya dengan komunisme lah Indonesia bisa merdeka. Dua jam
perdebatan berlangsung, tidak ditemukan titik temu. Namun Syekh Ahmad Surkati
ternyata menghargai positif pendirian Semaun. “Saya suka sekali orang ini, karena keyakinannya
yang kokoh dan jujur bahwa hanya dengan komunisme lah tanah airnya dapat
dimerdekakan!”. Peristiwa ini sekaligus membuktikan bahwa para
pemimpin Al-Irsyad pada tahun 1922 sudah berbicara masalah kemerdekaan
Indonesia!.
Seperti
yang diajarkan Muhammad Abduh di Mesir, Al-Irsyad mementingkan pelajaran Bahasa
Arab sebagai alat utama untuk memahami Islam dari
sumber-sumber pokoknya. Dalam sekolah-sekolah Al-Irsyad dikembangkan jalan
pikiran anak-anak didik dengan menekankan pengertian dan daya kritik. Tekanan
pendidikan diletakkan pada tauhid, fikih, dan sejarah.
Sejak
didirikannya, Al-Irsyad Al-Islamiyyah bertujuan memurnikan tauhid, ibadah dan
amaliyah Islam. Bergerak di bidang pendidikan dan dakwah. Untuk merealisir
tujuan ini, Al-Irsyad sudah mendirikan ratusan sekolah formal dan lembaga
pendidikan non-formal di seluruh Indonesia. Dan dalam perkembangannya kemudian,
kegiatan Al-Irsyad juga merambah bidang kesehatan, dengan mendirikan beberapa
rumah sakit. Yang terbesar saat ini adalah RSU Al-Irsyad di Surabaya dan RS
Siti Khadijah di Pekalongan. Tercatat banyak lulusan Al-Irsyad, baik dari
kalangan keturunan Arab maupun non-Arab yang telah memainkan peran penting di berbagai
bidang. Lulusan pribumi yang turut berperan penting dalam modernisme Islam di
Indonesia antara lain:
1. Yunus
Anis: Alumnus Al-Irsyad yang dikenal sebagai seorang pemimpin yang
menonjol dari Gerakan Muhammadiyah. Ia mendapat kehormatan dijuluki “tulang
punggung Muhammadiyah” karena pengabdiannya sebagai sekretaris jenderal di
organisasi tersebut selama 25 tahun.
2. Prof.
Dr. T.M. Hasby As-Shiddique: Putera asli
Aceh, penulis terkenal dalam masalah hadist, tafsir, dan fikih Islam moderen.
Guru besar di IAIN Yogyakarta ini bahkan pernah menjabat Rektor Universitas
Al-Irsyad di Solo (sekarang sudah tutup).
3. Prof.
Kahar Muzakkir:
Berasal dari Yogyakarta. Lulus dari Madrasah Al-Irsyad, Kahar Muzakkir
melanjutkan studinya di Dar al-Ulum di Kairo. Ia sangat aktif berjuang untuk
kemerdekaan Indonesia dan termasuk penandatangan Piagam Jakarta 22 Juni 1945.
Kemudian ia menjadi Rektor Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.
4.
Muhammad Rasjidi: Menteri Agama Republik Indonesia yang pertama, berasal dari
Yogyakarta. Ia pernah menjadi professor di McGill University di Montreal,
Kanada, dan juga mengajar di Universitas Indonesia, Jakarta. Semasa hidupnya
menulis banyak buku.
5. Prof.
Farid Ma’ruf: Asli Yogyakarta, profesor di IAIN, yang juga salah satu tokoh
besar Muhammadiyah di awal-awal berdirinya. Lulusan Madrasah Al-Irsyad ini
sempat menjabat Direktur Jenderal Urusan Haji di Departemen Agama.
6.
Al-Ustadz Umar Hubeis: Jabatan pertamanya adalah sebagai Direktur Madrasah Al-Irsyad
Surabaya. Di waktu yang bersamaan ia aktif di Masyumi (Majelis Syura Muslimin
Indonesia). Umar Hubeis bahkan pernah menjadi anggota DPR mewakili Masyumi. Ia
juga menjadi professor di Universitas Airlangga, Surabaya. Semasa ia hidupnya
beliau juga menulis beberapa buku, terutama fikih. Yang terkenal adalah Kitab
FATAWA.
7. Said
bin Abdullah bin Thalib al-Hamdani: Lulusan
Al-Irsyad Pekalongan ini sangat menguasai fikih dan menjadi professor di
Fakultas Syariah IAIN Yogyakarta. Ia juga menulis buku-buku fikih. Di kalangan
cendekiawan dan intelektual Islam Indonesia, ia dijuluki Faqih Al-Irsyadiyin
(cendekiawan terkemuka di bidang hokum Islam dari Al-Irsyad). Sayang kebanyakan
bukunya yang umumnya ditulis dalam bahasa Arab, belum diterjemahkan.
8.
Abdurrahman Baswedan:
Pendiri Partai Arab Indonesia (PAI) dan aktifis Masyumi ini pernah menjadi
Wakil Menteri Penerangan RI.
Namun
perkembangan Al-Irsyad yang awalnya naik pesat, kemudian menurun drastis
bersamaan dengan masuknya pasukan pendudukan Jepang ke Indonesia. Apalagi
setelah Syekh Ahmad Surkati wafat pada 1943, dan revolusi fisik sejak 1945.
Banyak sekolah Al-Irsyad hancur, diporak-porandakan Belanda karena menjadi
markas laskar pejuang kemerdekaan. Sementara beberapa gedung milik Al-Irsyad
yang dirampas Belanda, sekarang berpindah tangan, tanpa bisa diambil lagi oleh
Al-Irsyad.
Sampai
pada tahun 1985, Al-Irsyad tinggal memiliki 14 cabang, yang seluruhnya berada
di Jawa. Namun berkat kegigihan para aktifisnya yang sudah menyebar ke seluruh
pelosok Nusantara, Al-Irsyad berkembang kembali, sejak 1986. Puluhan cabang
baru berdiri. Dan kini tercatat sekitar 130 cabang, dari Sumatera ke Papua.
Di
awal berdirinya di tahun 1914, Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah dipimpin
oleh ketua umum Salim Awad Balweel. Dalam Muktamar terakhir di Bandung (2000),
yang dibuka Presiden Abdurrahman Wahid di Istana Negara pada 3 Juli 2000,
terpilih Ir. H. Hisyam Thalib sebagai ketua umum baru, menggantikan H. Geys
Amar SH yang telah menjabat posisi itu selama empat periode (1982-2000).
Perhimpunan
Al-Irsyad Al-Islamiyyah memiliki empat organ aktif yang menggarap segmen
anggota masing-masing. Yaitu Wanita Al-Irsyad, Pemuda Al-Irsyad, Puteri
Al-Irsyad, dan Pelajar Al-Irsyad. Peran masing-masing organisasi yang tengah
menuju otonomisasi ini (sesuai amanat Muktamar 2000), cukup besar bagi bangsa.
Pemuda Al-Irsyad misalnya, ikut aktif menumpas pemberontakan G-30-S PKI bersama
komponen bangsa lainnya. Sedang Pelajar Al-Irsyad termasuk salah satu eksponen
1966 yang ikut aktif melahirkan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar
Indonesia).
Di
luar empat badan otonom tersebut, Al-Irsyad Al-Islamiyyah memiliki
majelis-majelis, yaitu Majelis Pendidikan & Pengajaran, Majelis Dakwah,
Majelis Sosial dan Ekonomi, Majelis Awqaf dan Yayasan, dan Majelis Hubungan
Luar Negeri. Di luar itu ada pula Lembaga Istisyariyah, yang beranggotakan
tokoh-tokoh senior Al-Irsyad dan kalangan ahli).
(3) Dewan Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam, Jilid I. Jakarta:
Ikhtiar Baru Van Hoeve. 1993.
D. AJARAN-AJARAN
AL-IRSYAD
Hakekat Al-Irsyad Organisasi ini menamakan dirinya sebagai
perhimpunan yang bertujuan memurnikan pemahaman tauhid ibadah dan amaliyah
Islam dan bergerak dalam bidang pendidikan pengajaran kebudayaan dan dakwah
Islam serta kemasyarakatan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah guna mewujudkan
pribadi Muslim dan masyarakat Islam menuju keridhoan Allah SWT.
Mabadi’ Al-Irsyad:
·
Memahami ajaran Islam dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah dan bertahkim kepadanya.
·
organisasi dan administrasi modern
yg bermanfaat bagi pribadi dan ummat materiil dan spiritual.
·
Bergerak dan berjuang secara
terampil dan dinamis dengan pengorganisasian dan koordinasi yang baik
bersama-sama organisasi-organisasi lain dengan cara ukhuwah Islamiyah dan setia
kawan serta saling bantu dalam memperjuangkan cita-cita Islam yang meliputi
kebenaran kemerdekaan keadilan dan kebajikan serta keutamaan menuju keridhoan
Allah.
·
Beriman dengan aqidah Islamiyah yang
berdasarkan naskah-naskah kitab Al-Qur’an dan Sunnah yang sahih terutama
bertahud kepada Allah yg bersih dari syirik takhayul dan khurafat.
·
Beribadah menurut tuntunan
kitabullah dan sunnah rasul-Nya bersih dari bid’ah.
·
Berakhlak dengan adab susila yang
luhur moral dan etik Islam serta menjauhi adat istiadat moral dan etik yg
bertentangan dengan Islam.
·
Memperluas dan memperdalam ilmu
pengetahuan untuk kesejahteraan duniawi dan ukhrawi yang diridhoi Allah SWT.
·
Meningkatkan kehidupan dan
penghidupan duniawi pribadi dan masyarakat selama tidak diharamkan oleh Islam
dengan naskah serta mengambil faedah dari segala alat dan cara teknis.
Perjuangan dan cita-cita Al-Irsyad serta keyakinannya dapat
dilihat dalam apa yang disebut “Pedoman Asasi Al-Irsyad” yaitu Perkembangan
oganisasi Al-Irsyad kurang begitu pesat jika dibandingkan dengan organisasi
yang lahir jauh sesudahnya seperti Muhammadiyah dan NU. Hal ini bisa dilihat
karna kebanyakan para pengurus dan pendukung organisasi ini adalah dari
kalangan keturunan Timur Tengah . Adanya jarak antara masyarakat keturunan Arab
dengan pribumi menyebabkan sosialisasi organisasi ini kurang menyentuh atau
melebar ke masyarakat pribumi.Dilihat dari pergerakan keorganisasiannya
Al-Irsyad lebih cenderung penekanannya dalam bidang sosial pendidikan. Mengenai
masalah perpolitikan organisasi ini cenderung bersifat netral atau kurang
menyentuhnya sehingga pada hal-hal yg justru mengandung nilai perjuangan yang tinggi yaitu perjuangan untuk umat
Islam dapat menjalankan syari’atnya dengan kafah di negara RI kurang mendapat
respon.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan organisasi-organisasi
keagamaan Islam besar lainnya sepeti NU dan Muhamadiyah yang cenderung menerima
Pancasila sebagai satu-satunya dasar atau asas negara RI dan UUD 1945 sebagai
sumber dari segala sumber hukum dengan alasan tidak ada larangan menjalankan
kebebasan agama di dalamnya. Sementara perjuangan penegakkan syari’at Islam di
Indonesia sebagian besar hanya dilakukan oleh tokoh-tokoh dan kaum militan
Islam dan sayangnya kelompok ini adl kelompok minoritas. Memang jika dalam
pemahaman yang
netral universal Pancasila itu sendiri dilihat dari redaksionalnya telah
mewadahi berbagai umat beragama dan kepercayaan untuk melaksanakan sesuai
keyakinannya tetapi sesungguhnya yang terjadi selama ini adalah pemahaman yang
secara sepihak dibiaskan oleh pemerintah menurut pemahamannya sehingga
pelaksanaan “Kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya” sebagai nilai yang terkandung didalam sila pertama Pancasila
tidak pernah terwujud dengan menyeluruh.
Yang terwujud hanyalah masalah hukum-hukum seperti
pernikahan waris dan sejenisnya yang belum menyentuh kepada hukum-hukum yang
lebih jauh yang telah sedemikian detail ada dalam hukum syara’. Belum lama
terdapat suatu kejadian yang mungkin menjadi sejarah yang penting bagi
pelaksanaan hukum-hukum syari’at Islam di Indonesia tatkala kelompok Laskar
Jihad pinpinan Ja’far Umar Thalib di Maluku menerapkan pelaksanaan hukum rajam
bagi pelaku zina sesuai syarat-syarat yang telah ditentukan menurut syara’. Di
sini seharusnya peran pemerintah sebagai fasilitator. Dimana ada rakyatnya yang
dengan suka rela mau menggunakan hukum syari’at Islam sebagai keyakinannya maka
pemerintah tidak perlu menghalanginya karna itu adalah keyakinan agamanya yang
telah dijamin kebebasannya dalam Pancasila. Tetapi dalam kenyataannya pimpinan
Laskar Jihad itu ditangkap dan dipojokkan, kecuali jika si pelaku kejahatan itu
tidak mau dan berlindung kepada hukum negara barulah negara turut campur
didalamnya.
Maka dalam hal ini para ulama telah lepas dan bebas dari kewajibannya
menjalankan hukum fardu kifayah kepada si pelaku zina tersebut dengan
beralihnya permasalahan hukum ke tangan pemerintah atas dasar tidak ada paksaan
di dalam agama Islam. Jikalau pemerintah memiliki alasan kuat karna belum
adanya undang-undang yang secara khusus mengatur hal itu disitulah kesalahan
yang fundamental. Hal ini karna mengesampingkan pemasalahan dasar kehidupan
beragama dan bernegara dan lebih mementingkan ekonomi dan duit yang terbukti di
jaman reformasi sekarang ini duit dan kekayaan hanya lari pada segolongan atau
segelintir orang sementara kebanyakan rakyat menderita kemiskinan pengangguran
dan krisis sosial yg berat. Kesenjangan sosial yang dahsyat ini sesungguhnya
mengandung ancaman yang sangat besar terhadap potensi perpecahan. Akibat dari
dasar pengaturan kehidupan sosial ekonomi keagamaan, kenegaraan dan tata
kehidupan internasional yang tidak jelas inilah sumber dari segala sumber mala
petaka. Hukum fardu kifayah umat untuk umat Islam di Indonesia dapat
menjalankan syariat secara kaffah kepada tiap orang yang mengaku
bersungguh-sungguh memeluk agama Islam selama perjuangan itu belum terwujud.
E.
PENDIDIKAN SEKOLAH DI AL-IRSYAD
Al-Irsyad membagi jenjang pendidikannya sebagai berikut:
·
Awwaliyyah untuk 3 tahun pelajaran.
·
Ibtidaiyyah untuk 4 tahun pelajaran
dimana kedua jenjang pendidikan ini merupakan pendidikan tingkat pemula atau
dasar.
·
Tajhiiziyyah untuk 2 tahun pelajaran
yang merupakan jenjang lanjutan atau menengah.
·
Mu’allimin utk 4 tahun pelajaran
yang mengarahkan murid-murid untuk langsung mengajar sebagai asisten.
·
Terakhir adalah Takhassus untuk masa
2 tahun pelajaran yaitu spesialisasi yang dipilih siswa.
Penjenjangan itu pada mulanya dilaksanakan pada kelas-kelas
belum pada sekolah artinya seluruhnya dalam satu sekolah dan satu bangunan. Ini
disebabkan karna beragamnya siswa dilihat dari segi usia masing-masing. Siswa
yang tingkat kecerdasannya tinggi bisa saja dalam waktu singkat dipindahkan ke
kelas yang jenjangnya lebih tinggi. Dengan demikian seluruh jenjang itu tidak harus
ditempuh siswa selama 13 tahun.Pada dasarnya di sekolah Al-Irsyad itu diajarkan
pelajaran bahasa Arab sebagai mata pelajaran terpenting sebagai alat utama
untuk memahami Islam dari sumber-sumber pokoknya. Selain itu tekanan pendidikan
juga diarahkan kepada pelajaran Tauhid fiqh dan sejarah. Secara umum dapat
disimpulkan bahwa pendidikan di Al-Irsyad merupakan sarana pembentuk watak
cita-cita dan kemauan serta mengarahkannya kepada ajaran yang benar dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pembaharuan yang memiliki pengaruh jangka
panjang sesuai dgn konsepsi Muhammad Abduh.
Tercatat sebagai tokoh-tokoh pendidikan yg terkenal yg
menjadi pengajar pada Madrasah Al-Irsyad adalah
·
Sayyid Muhammad Alattas lulusan
Cairo.
·
Syaikh Muhammad Al-Madani lulusan
Al-Azhar Cairo.
·
Syaikh Abu Zayd Al-misri lulusan
Al-Azhar Cairo .
·
Syaikh Ahmad Surkati lulusan darul
Ulum Makkah.
·
Syaikh Ahmad Al-Aqib Al-Anshari
lulusan Al-Azhar Cairo .
·
Abul Fadhel Sati Al-Anshary lulusan
College Gordon Sudan .
·
Muhammad Al-Hasyimi lulusan
AZ-Zaitun Tunisia .
·
Syaikh Hasan Hamid Al-Anshary
lulusan Syari’ah Wad-diin Sudan .
·
Syaikh Muhammad Nur Al-Anshary
lulusan Syari’ah Wad-diin Sudan .
·
Syaikh Hasan Abu Ali Ats Tsiqah
lulusan Darul ‘Ulum Makkah.
Sutan Abdul Hamid guru bahasa Arab dan sederetan nama-nama
besar lainnya.
F. DAERAH
PENYEBARAN
Pada tanggal 29 Agustus 1917 Al-Irsyad membuka cabangnya
yang pertama di Tegal dengan diketuai oleh Ahmad Ali Baisa, pada 20 Nopember 1917 disahkan
keputusan pembukaan cabang Al-Irsyad yang kedua yaitu di Pekalongan dengan
ketua pertama kalinya Said bin Salim Sahaq. Cabang Al-Irsyad yang ketiga dibuka
di Bumiayu pada tangal 14 Oktober 1918 dengan ketuanya yang pertama Husein bin
Muhammad Alyazidi. Pada tanggal 31 Oktober 1918 Al-Irsyad membuka cabangnya
yang ke empat di Cirebon dengan ketua petamanya Ali Awad Baharmuz.
Pada 21 Januari 1919 dibuka cabang ke lima di Surabaya.
Pembukaan cabang di Surabaya ini dinilai sebagai peristiwa amat penting dalam
sejarah Al-Irsyad karna kedudukan nya di Surabaya waktu itu sebagai pusat
kegiatan pergerakan Islam dan tempat berdomisilinya para pemuka masyarakat
Muslimin pada waktu itu. Cabang ini pertama kalinya diketuai oleh Muhammad bin
Rayis bin Thaib.Dari tahun 1927 sampai dengan tahun 1931 telah tercatat
bedirinya cabang-cabang Al-Irsyad di Lhoseumawhe Menggala Sungeiliat Labuan
Haji dan Talewang, Pamekasan, Probolinggo, Krian, Jombang, Bangil dan sepanjang
Semarang, Comal Pemalang, Purwoketo, Indramayu, Cibadak, Sindanglaya, dan Solo
sampai tahun 1970-an Al-Irsyad telah tersebar cabangnya sampai ke seluruh
provinsi Sulawesi Utara dan sampai sekarang pada umumnya tiap provinsi telah
berdiri cabang Al-Irsyad.
(4) Louis Gottschalk. Mengerti Sejarah, Terj.
Nugroho Notosusanto. Jakarta: Gramedia. 1985.
G. KARYA-KARYA
AL-IRSYAD
Al-Irsyad dikenal sebagai kelompok pembaharu Islam di
Nusantara, mulai membuka sekolah dan cabang-cabang organisasi di banyakkota di
PulauJawa. Kemudian diikuti dengan cabang-cabang Pekalongan, Cirebon, Bumiayu,
Surabaya, dan kota-kota lainnya. Al-Irsyad juga merambah bidang kesehatan,
dengan mendirikan beberapa rumah sakit. Yang terbesar saat ini adalah RSU
Al-Irsyad di Surabaya dan RS Siti Khadijah di Pekalongan. Dalam perkembangannya
kemudian, kegiatan Al-Irsyad juga merambah bidang kesehatan, dengan mendirikan
beberapa rumah sakit; yang terbesar saat ini adalah RS Al-Irsyad di Surabaya
dan RS Siti Khadijah di Pekalongan. Sedangkan di bidang dakwah dan penerangan,
usaha dan pengembangan yang dilakukan Al-Irsyad antaranya adalah: membina
anggota dan masyarakat menjadi khaira ummah dengan mengefektifkan
peran mubaligh; melakukan pengkaderan ulama melalui pendidikan tinggi baik di
dalam maupun di luar negeri; penyelenggaraan dan pengembangan majelis taklim
sebagai majelis ilmu dan dakwah; intensifikasi dakwah di daerah-daerah
terpencil yang rawan karena masalah tekanan ekonomi dan keterbelakangan
pendidikan,
menghidupkan media massa (media tertulis) dengan misi dakwah sebagai sarana
komunikasi dan penyuluh umat. Berdasarkan data yang ada, menurut K.H. Abdullah
Mubarak al-Jaidi (Ketua Umum Al-Irsyad Periode 2007-2012), organisasi yang
dipimpinnya saat ini telah memiliki 134 cabang seluruh Indonesia, 23 wilayah
propinsi, 250 sekolah, 5 pesantren mandiri, ada sejumlah rumah sakit, dan dalam
waktu dekat juga akan dibangun Sekolah Tinggi Dakwah Al-Irsyad.
Untuk lebih mendinamisasikan gerak dan langkah organisasi serta berperan
aktif dalam pemberdayaan masyarakat, dalam kepengurusannya Al-Irsyad membentuk
majelis-majelis yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda, antara lain majelis
pendidikan dan pengajaran, majelis dakwah, majelis sosial dan ekonomi, majelis
wakaf dan yayasan, majelis wanita dan putri, majelis pemuda dan pelajar, majelis
organisasi dan kelembagaan, majelis hubungan luar negeri.
Patut digaris bawahi bahwa dalam penyebaran gagasan atau pemikirannya, Al-
Irsyad lebih memfokuskan pada upaya perbaikan dan pelayanan pendidikan. Ini
biasa dilihat dari pembukaan sekolah Al-Isyad yang didukung oleh pemuka-pemuka
arab. Terutama Syaikh Umar Manggus, yang saat itu menjabat sebagai kapten arab.
Tokoh ini yang memberi saran agar didirikan suatu perkumpulan untuk
menunjang sekolah yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Surkati tersebut. Atas
dukungan itu,berdirilah sekolah ”Jam’iyyah
Al Ishlah Wa Al Irsyad Al Islamiyyah”. Agar kehadirannya tidak terkesan hanya diperuntukkan bagi orang arab, maka
beberapa waktu kemudian namanya diubah menjadi ”Jam’iyyah Al- Irsyad
Al-Islamiyyah”.Yang selanjutnya dikenal dengan nama Al- Irsyad, Al- Irsyad
beranggotakan semua orang islam yang berumur 18 tahun atau yang telah beristri
dan tingggal di wilayah Indonesia.
Periode perkembangan Al- Irsyad ditandai dengan pembukaan cabang-cabang Al -Irsyad dengan prioritas pertama pulau Jawa. Pada tanggal 29 Agustus 1917 Al-Irsyad membuka cabang yang pertama di Tegal, dengan diketahui oleh Ahmad Ali Bais. Pada tanggal 20 November 1917 di resmikan pula keputusan untuk pembukaan cabang Al -Irsyad kedua, yaitu di Pekalongan dengan ketua pertama kalinya Said Bin Salaim Sahaq, cabang Al Irsyad ketiga dibuka di Bumiayu pada tanggal 14 Oktober 1918, dengan ketuanya yang pertama adalah Husein Bin Muhammad Al Yazidi pada tanggal 31 Oktober 1918 Al Irsyad membuka cabang ke empat di cerebon, dengan ketua pertamanya Ali Awad Baharmuz. Tanggal 21 Januari 1919, dibuka cabang ke lima disurabaya. pembukaan cabang di Surabaya ini di nilai sebagai peristiwa amat penting dalam sejarah Al- Irsyad, karena kedudukan Surabaya waktu ini sebagai pusat kegiatan pergerakan islam dan tempat berdomisilinya para pemuka masyarakat muslim pada waktu itu. Cabang ini pertama kalinya diketuain oleh Muhammad bin Rayis bin Thaib.
Periode perkembangan Al- Irsyad ditandai dengan pembukaan cabang-cabang Al -Irsyad dengan prioritas pertama pulau Jawa. Pada tanggal 29 Agustus 1917 Al-Irsyad membuka cabang yang pertama di Tegal, dengan diketahui oleh Ahmad Ali Bais. Pada tanggal 20 November 1917 di resmikan pula keputusan untuk pembukaan cabang Al -Irsyad kedua, yaitu di Pekalongan dengan ketua pertama kalinya Said Bin Salaim Sahaq, cabang Al Irsyad ketiga dibuka di Bumiayu pada tanggal 14 Oktober 1918, dengan ketuanya yang pertama adalah Husein Bin Muhammad Al Yazidi pada tanggal 31 Oktober 1918 Al Irsyad membuka cabang ke empat di cerebon, dengan ketua pertamanya Ali Awad Baharmuz. Tanggal 21 Januari 1919, dibuka cabang ke lima disurabaya. pembukaan cabang di Surabaya ini di nilai sebagai peristiwa amat penting dalam sejarah Al- Irsyad, karena kedudukan Surabaya waktu ini sebagai pusat kegiatan pergerakan islam dan tempat berdomisilinya para pemuka masyarakat muslim pada waktu itu. Cabang ini pertama kalinya diketuain oleh Muhammad bin Rayis bin Thaib.
Pada periode berikutnya, setelah pulau jawa, Al irsyad semakin melebarkan
sayapnya keluar jawa. Dari tahun 1927 sampai dengan tahun 1931 telah tercatat
berdirinya cabang-cabang Al irsyad di lhokseumawhe Aceh, Menggala Lampung,
Sungeiliat Bangka, Labuan Haji dan Talewang Nusa Tenggara Barat, Pemekasan,
Probolinggo, Krian, Jombang, Bangil, Sepanjang, Semarang, Comal, Pemalang,
Prowokerto, Indramayu, Cibadak, Sindang laya, dan Solo. Sampai tahun 1970-an,
cabang Al-Irsyad telah tersebar di seluruh propinsi Sulawesi Utara dan
sekarang, hampir di setiap propinsi di Indonesian telah berdiri cabang
Al-Irsyad.
Di masing-masing cabang tersebut, didirikan pusat pendidikan bagi warga
Al-Irsyad khususnya, dan masyarakat. Luas pada umumnya.oleh pendirinya, ahmad
Surkati pendidikan formal dipilih sebagai wahana yang tepat untuk menyemaikan
dan mengembangkan gagasan-gagasan Al-Irsyad sebagaimana telah dicanangkan dalam
Mabadi Al-Irsyad.
Konsistensi dan fokus gerakan terhadap bidang pendidikan formal tampaknya
tetap mampu dipertahankan hingga saat ini kiprah al irsyad lebih banyak di
fokuskan kepada pengembangan pendidikan formal yang di harapkan mampu membentuk generasi irsyadi.
Jika diklasifikasikan, maka akan terlihat perbedaan perkembangan pendidikan al irsyad dari setiap periode, periode 1914 sampai dengan 1942 menunjukan adanya perkembangan yang cukup pesat, namun pada periode 1942-1961 terjadi kemunduran. Barulah pada periode 1961-1982, pendidikan Al-Irsyad mengalami kebangkitan kembali dengan ditandai pendirian sekolah-sekolah Al- Irsyad di beberapa daerah di tanah air . Perkembangan yang cepat terjadi pada periode 1982-1997. Pada periode ini Al- Irsyad masih dan berhasil mendirikan lembaga pendidikan berupa pesantren dan perguruan tinggi.
Jika diklasifikasikan, maka akan terlihat perbedaan perkembangan pendidikan al irsyad dari setiap periode, periode 1914 sampai dengan 1942 menunjukan adanya perkembangan yang cukup pesat, namun pada periode 1942-1961 terjadi kemunduran. Barulah pada periode 1961-1982, pendidikan Al-Irsyad mengalami kebangkitan kembali dengan ditandai pendirian sekolah-sekolah Al- Irsyad di beberapa daerah di tanah air . Perkembangan yang cepat terjadi pada periode 1982-1997. Pada periode ini Al- Irsyad masih dan berhasil mendirikan lembaga pendidikan berupa pesantren dan perguruan tinggi.
Terdapat keunikan dari pengembangan pendidikan Al-Irsyad, yaitu dengan didirikannya pesantren pada tahun 80-an. Jika
pada kelompok tradisional (Nahdlatul Ulama) muncul trend mengembangkan
pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah umum dan madrasah maka tidak
demikian dengan ormas Al Irsyad (dan juga muhammdiyah) yang justru mendirikan
pesantren, karena didorong oleh kesadaran perlunya memberikan perhatian yang
besar pada aspek pendidikan agama. Namun demikian, tipologi pesantren Al Irsyad
tetap memiliki perbedaan dengan pesantren milik ormas itu.
Jika pesantren itu didirikan oleh perorangan, maka pesantren Al Irsyad
didirikan oleh Jam’iyyah (Organisasi), dengan manajement pesantren yang tidak
bersifat kekeluargaan. Kitab-kitab yang diajarkan di pesantren Al Irsyad, meskipun sama-sama berbahasa
arab, namun tidak tergolong kitab kuning seperti yang diajarkan di pesantren-pesantren itu. Kitab-kitab tersebut ditulis
oleh para ulama komtemporer di timur tengah. Lebih dari itu, kesan lux juga
terlihat pada pesantren-pesantren milik Al Irsyad, jika dibandingkan dengan
pesantren – pesantren tradisional, akibatnya biaya pendidikan pun mahal.
Kerjasama antara Al-Irsyad dengan organisasi Modernis Islam lainnya terus
Berlanjut pada kongres Al-Islam ke-1 di Cirebon pada tahun 1922, kongres
Al-Islam ke-2 tahun 1923 di Garud, kongres ke-3 di Surabaya tahun 1924, kongres
Al-Islam ke-4 di Yogyakarta tahun 1925, kongres Al-Islam ke-5 di Bandung tahun
1926 (Hussein
Banjerei, 1996:114). Al-Irsyad juga menjalin kerjasama dengan gerakan-gerakan
Islam lain dalam majelis islam A’la Indonesia MIAL.
(5) Nurcholis Madjid. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta:
Paramadina. 1992.
(6) Samuel P. Huntington. Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan
Politik Dunia, Terj. Yogyakarta: Qalam. 2000.
KESIMPULAN
Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah (Jam’iyat
al-Islah wal Irsyad al-Islamiyyah) berdiri pada 6 September 1914 (15 Syawwal
1332 H). Al-Irsyad
adalah organisasi Islam nasional. Syarat keanggotaannya, seperti tercantum
dalam Anggaran Dasar Al-Irsyad adalah: “Warga negara Republik Indonesia yang
beragama Islam yang sudah dewasa.” Al-Irsyad di
masa-masa awal kelahirannya dikenal sebagai kelompok pembaharu Islam di
Nusantara, bersama Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis). Tiga tokoh utama
organisasi ini adalah Ahmad Surkati, Ahmad Dahlan, dan Ahmad Hassan
(A. Hassan), sering disebut sebagai “Trio Pembaharu Islam Indonesia.” Al-Irsyad mementingkan
pelajaran Bahasa Arab sebagai alat utama untuk memahami Islam dari
sumber-sumber pokoknya. Sejak
didirikannya, Al-Irsyad Al-Islamiyyah bertujuan memurnikan tauhid, ibadah dan
amaliyah Islam. Bergerak di bidang pendidikan dan dakwah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar