PENERAPAN
CARA DISTRIBUSI OBAT YANG BAIK (CDOB)
PADA
PEDAGANG BESAR FARMASI (PBF) DI YOGYAKARTA
Oleh: Fauzta
Norma Ayu Anggraini
Abstrak: Ada 79.045
jenis sediaan farmasi yang sudah memiliki izin edar yang didistribusikan oleh
2.821 Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia.
Survei dilakukan pada bulan Juli 2010 untuk mengevaluasi pelaksanaan CDOB (Cara
Distribusi Obat yang Baik) pada PBF di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk yang disalurkan oleh PBF di Provinsi
DIY yakni bahan baku farmasi, vaksin, psikotropik, obat keras, obat bebas, obat
bebas terbatas, kosmetik, makanan, susu,
dan alat kesehatan.
Kata Kunci: Cara Distribusi Obat yang Baik, Pedagang Besar Farmasi, Yogyakarta.
Pola
praktik di Indonesia sangat beragam, yang meliputi pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
distribusi obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan
farmasi adalah sarana yang digunakan untuk mendistribusikan atau menyalurkan
sediaan farmasi, yang dilakukan oleh pedagang besar farmasi dan instalasi
sediaan farmasi. Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan berbentuk badan
hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran perbekalan
farmasi dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sediaan farmasi harus aman, berkhasiat atau bermanfaat, bermutu, dan
terjangkau, maka diperlukan pengawasan obat secara komprehensif termasuk pada
jaringan distribusi obat agar terjamin mutu, khasiat, keamanan, dan keabsahan
obat sampai ke tangan konsumen.
Sediaan
farmasi yang telah mendapat izin edar dari menteri kesehatan sebanyak 79.045
jenis terdiri dari 16,4% obat, 10,5% obat tradisional, dan 73,1% kosmetik.
Beberapa penelitian terkait PBF yang telah dilakukan yakni tentang aspek
manajemen dan tata cara pendirian PBF, penelitian ini mengevaluasi pelaksanaan CDOB (Cara
Distribusi Obat yang Baik) pada PBF di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
METODE
PENELITIAN
Penelitian non
eksperimental deskriptif dengan metode survei ini dilakukan pada bulan Juli
2010 menggunakan kuesioner dan interview. Populasi adalah 49 PBF yang tercatat
di Provinsi DIY, sampel adalah PBF yang
bersedia menjadi responden yakni sebanyak 29 (59%) PBF.
HASIL
PENELITIAN
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa jenis produk yang disalurkan oleh PBF di Provinsi
DIY berupa bahan baku farmasi, vaksin, psikotropik, obat keras, obat bebas,
obat bebas terbatas, kosmetik, makanan,
susu, dan alat kesehatan. Pedagang Besar Farmasi dan setiap cabangnya
berkewajiban mengadakan, menyimpan, dan menyalurkan perbekalan farmasi yang
memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan menteri serta melaksanakan pengadaan
obat, bahan baku obat, dan alat kesehatan dari sumber yang sah. Sebelum berlakunya
PP No.51 tahun 2009, kewajiban tersebut dipertanggungjawabkan oleh seorang
apoteker atau asisten apoteker yang mempunyai surat penugasan dan surat izin
kerja. Khusus PBF yang menyalurkan bahan baku obat penanggung jawabnya harus seorang
apoteker. Perbekalan farmasi adalah perbekalan yang meliputi obat, bahan obat
dan alat kesehatan, istilah ini diganti menjadi sediaan farmasi yakni obat,
bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika. Makanan, susu, dan alat kesehatan
bukan bagian dari sediaan farmasi, tetapi terdapat PBF yang juga
menyalurkannya. Alat kesehatan dapat disalurkan oleh PBF karena bagian dari
perbekalan farmasi, selain oleh Penyalur Alat Kesehatan (PAK) yang diberikan
izin oleh menteri kesehatan.
Sebanyak 24 (83%) penanggung jawab PBF adalah wanita,
yang terbanyak berumur 23-30 tahun yakni 11 (38%) orang. Sebanyak 9 (31%) PBF,
penanggung jawabnya apoteker, 18 (62%) PBF penanggung jawabnya asisten
apoteker, 1 PBF terdapat apoteker tetapi bukan sebagai penanggung jawab, 1 PBF
tidak terdapat tenaga kefarmasian.
PEMBAHASAN
Pemberlakuan
PP No.51 tahun 2009 mengubah ketentuan, bahwa setiap PBF harus
dipertanggungjawabkan oleh seorang apoteker, dan paling lambat 3 tahun sejak
ditetapkannya PP tersebut, penanggung jawab PBF harus seorang apoteker yang
dapat dibantu oleh apoteker pendamping dan atau tenaga teknis kefarmasian. Saat
ini sebanyak 69% PBF sampel di Provinsi DIY penanggung jawabnya bukan apoteker,
bahkan 2 diantaranya bukan tenaga kefarmasian. Paling lambat 1 September 2012
semua PBF di Indonesia sudah harus dipertanggungjawabkan oleh apoteker. Farmasi
di industri modern mempunyai tanggung jawab menjaga keamanan, ketepatan, dan
efisien pada saat pendistribusian obat. Selain itu, tenaga kefarmasian juga
mempunyai tanggung jawab dalam edukasi mengenai terapetik obat, keamanan obat
serta pengobatan kepada anggota medis lain. Pekerjaan kefarmasian dalam
fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan farmasi harus memenuhi ketentuan
CDOB (Cara Distribusi Obat yang Baik) dan dalam melakukan pekerjaan kefarmasian
tersebut apoteker harus menetapkan Standar Prosedur Operasional. CDOB juga
menyatakan bahwa dalam penerapan CDOB harus mempunyai Sistem Operasional
Prosedur (SOP). Dua puluh delapan PBF
mempunyai SOP yang jenisnya beragam, sebanyak 20 (69%) PBF mempunyai SOP
mengenai CDOB, 26 (89%) PBF mempunyai SOP mengenai penerimaan dan pengiriman
barang, 27 (93%) PBF mempunyai SOP mengenai tempat penyimpanan. SOP yang
terdapat di PBF paling banyak dibuat oleh kantor pusat, sehingga PBF cabang
hanya tinggal menerapkan SOP yang sudah diberikan dari kantor pusat tanpa harus
membuat SOP yang baru. Standar Prosedur Operasional adalah prosedur tertulis
berupa petunjuk operasional tentang pekerjaan kefarmasian, pedoman CDOB
menyatakan bahwa SOP atau sistem operasional prosedur atau sering disebut
protap adalah prosedur tertulis suatu instruksi operasional tentang hal-hal
umum seperti operasional peralatan, pemeliharaan dan kebersihan, sampling dan
inspeksi diri. Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara tertulis dan
diperbarui secara terus menerus sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang farmasi dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Oleh karena, itu sebaiknya setiap apoteker pada PBF menyusun
SOP untuk setiap jenis kegiatan pekerjaan kefarmasian yang dilakukannya, dan
bertanggung jawab secara profesional dalam rangka menjaga keamanan, mutu, dan
khasiat sediaan farmasi yang dikelolanya.
Apoteker
adalah tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan
praktik kefarmasian termasuk penyimpanan dan pendistribusian obat. Penanggung
jawab PBF bertanggung jawab mengawal sediaan farmasi dimana jaminan kemanan,
khasiat, dan mutu sediaan farmasi dituntut dari proses awal sampai akhir.
Seluruh karyawan yang terlibat dalam pendistribusian obat, hendaknya diberikan
pelatihan mengenai CDOB sehingga CDOB dapat berjalan dengan benar. Jenis
pelatihan yang pernah diikuti oleh penanggung jawab PBF bervariasi, yang
disebutkan adalah pelatihan tentang sanitasi dan hygiene, toksisitas, produk
obat yang menyebabkan infeksi, pajak, laporan, dan bahan berbahaya. Pedagang
Besar Farmasi berkewajiban melaksanakan dokumentasi pengadaan, penyimpanan dan
penyaluran secara tertib di tempat usahanya mengikuti pedoman teknis yang
ditetapkan menteri. Dua puluh delapan (97%) PBF sudah melaksanakan dokumentasi.
Jenis dokumentasi tentang penerimaan pesanan barang dari pelanggan dilakukan
oleh paling banyak PBF baik secara manual maupun dengan komputer. Jenis dokumentasi
lain yakni pemusnahan obat, pengembalian obat ke produsen, stok barang,
pengurangan barang dari stok penjualan, pengiriman obat kepada pelanggan,
pengeluaran dari gudang, penyimpanan obat, penerimaan dan pemesanan sediaan
farmasi. Menurut PP, pedoman CDOB adalah pedoman yang ditetapkan oleh menteri, akan
tetapi yang berlaku sekarang pedoman CDOB yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM), kedudukan BPOM
sejak tahun 2001 tidak lagi di bawah Departemen Kesehatan akan tetapi menjadi
Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), akan tetapi dalam melaksanakan
tugasnya tetap dikoordinasikan oleh Menteri Kesehatan. Dalam hal izin edar
(registrasi) obat, Menteri Kesehatan melimpahkan pemberian izin edar kepada
Kepala BPOM.
PENUTUP
Berdasarkan
hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa belum semua aspek CDOB
dilaksanakan oleh PBF. Untuk melengkapi informasi hasil penelitian ini, perlu
dilakukan penelitian tentang bagian addendum dari pedoman CDOB yakni penanganan
vaksin dan penanganan obat donasi oleh PBF. Agar sediaan farmasi yang sampai ke
tangan konsumen terjamin keamanan, khasiat, mutu, dan keabsahannya perlu
diadakannya CDOB terkini, pelatihan implementasi, dan monitoring pelaksanaaan
CDOB pada PBF.
DAFTAR RUJUKAN
Hartini, Yustina Sri. 2012. Cara
Distribusi Obat yang Baik pada Pedagang Besar Farmasi di Yogyakarta, [skripsi].
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Paingan Maguwoharjo Depok Sleman,
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar